SERAT WEDHATAMA: YANG WARAS NGALAH
Bait
ke empat Pupuh Pangkur, Serat Wedhatama ini adalah lanjutan dari bait
ke tiga. Bagaimana orang yang “nggugu karepe dhewe” tadi semakin
menjadi-jadi. Mungkin karena tidak ada yang memperingatkan, atau karena
ia tidak mau mendengar nasihat orang lain. Tembangnya dalam bahasa yang
mudah dipahami, sebagai berikut:
Si pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur,
Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Si dungu tidak menyadari
Bahwa bualannya semakin menjadi-jadi
Bicara makin ngelantur
Bicaranya tidak masuk akal,
Makin aneh dan tidak ada putusnya
Yang pandai waspada dan mengalah
Menutupi aib si tolol
Itulah
celakanya orang yang suka menuruti maunya sendiri. “Saya suwe saya
ndadi”, makin lama bukannya menjadi berhati-hati, malah makin
menjadi-jadi. Yang mendengar sebenarnya amat sebal, tetapi mengambil
sikap “sinamun ing samudana”.
Mengapa
pitutur Jawa sering mengisyaratkan “Samudana?”. Pada dua baris terakhir
Sekar Pangkur ini dijelaskan: “Si wasis waskitha ngalah, Ngalingi
marang si pingging” (pingging: tolol).
Yang
merasa pandai dan betul-betul pandai, lebih baik mengalah. Pertama
memang hanya buang-buang energi. Menang debat pun tidak ada hasilnya.
Dalam tembang ini kita diminta untuk “ngalingi”, menutupi aib si tolol.
Kalau kita harus bicara, maka ingat pesan “sinamun ing samudana”. Bukan
lamis, karena lamis adalah “manis di mulut buruk di hati” sementara
“samudana” adalah “baik di mulut, baik di hati”, karena kita ingin
menutupi aib orang, bukan menjatuhkannya.
Dalam
bahasa yang lebih sederhana: Buat apa meladeni orang seperti itu.
“Menang ora kondang”, kita menang pun tidak akan tenar. Dalam bahasa
yang lebih populer: “Yang waras, ngalah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar