Raden Mas Panji
Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877
M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara.
Semenjak kecil beliau sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan
mempunyai kemampuan membaca masa depan.
Kakak dari ibu kita
Kartini ini, setelah tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara,
melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898
meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk di sekolah
Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok, sehingga pindah ke
Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa
Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang
pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya.
Dengan menggenggam
gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden,
beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan.
Selama perang dunia ke I, beliau bekerja sebagai wartawan perang pada
Koran New York Herald dan New York Herald Tribune. Kemudian, setelah
perang usai, beliau menjadi penerjemah di Wina, tapi beliau pindah lagi,
bekerja sebagai ahli bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, dan
akhirnya beliau hijrah ke Jenewa. Sebagai sarjana yang menguasai 26
bahasa, beliau bekerja sebagai penerjemah untuk kepentingan Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Jenewa.
Sampai suatu ketika
terdengar berita tentang sakitnya seorang anak berumur ± 12 tahun. Anak
itu adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak
kunjung sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan
hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk
meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak
kenalannya yang sakit parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung
meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah
keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan
hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.
Kejadian itu
membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk
juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu.
Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan
bahwa sebenarnya Drs. R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan
memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk
belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di
kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra,
maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di
Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk
mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.
Beliau kecewa,
karena di sana beliau hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat
terbatas, tidak sesuai dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang
digendam kecewa, datanglah ilham untuk kembali saja ke tanah airnya. Di
tanah airnyalah beliau harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran
untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia. Sesampainya di
indonesia, beliau bertempat tinggal di Bandung, beliau menjadi sang
penolong sesama manusia yang menderita sakit jasmani maupun rohani.
Di Bandung, di
Dar-Oes-Salam-lah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan
umat. Beliau terkenal sebagai seorang paranormal yang cendekiawan di
mana saja, bahkan beliau pernah mendapat undangan Sultan Sumatera,
Langkat. Di daerah sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya
secara pasti, karena di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi
Jawanya, kerendah-hatiannya, kesederhanaannya, tidak mau menikmati
kemewahan, bahkan dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan
dua buah cabe atau sebuah pisang.
Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.
Pada hari Jum’at
Pahing, tanggal 8 februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung,
yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono
kembali ke Sang Pencipta dengan tenang, tentram.
Guru Sejati
“Murid, gurune pribadi
Guru, muride pribadi
Pamulangane, sengsarane sesami
Ganjarane, ayu lan arume sesami.”
Artinya, “Murid
gurunya diri pribadi. Guru, muridnya diri pribadi. Tempat
belajarnya/pelajarannya, penderitaan sesama. Balasannya, kebaikan dan
keharuman sesama.”
Untaian itu mengandung
pengertian bahwa sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seorang guru
dan diri seseorang itu sendiri menjadi murid, murid dari guru sejati.
Sebab, pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan, karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.
“Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang.”Sebab, pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan, karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.
Artinya, “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”
“Tansah anglampahi dados muriding agesang.”
Artinya, “Selalu menjalani jadi murid kehidupan/sesama hidup.”
Kehidupan itulah sang guru, karena kehidupan itu juga mengajarkan kepada kita.
Sang Alif
“… Ping kalihipun perlu babat lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang Alif punika inggih kedah mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun canthelaken kemawon, lajeng dipun tilar kados mepe rasukan).”
Artinya, “Yang keduanya perlu membuka dan
mengatur tempat untuk memasang Alif. (Memasang Alif itu harus dengan
sarana penghayatan. Tidak boleh hanya dicantolkan begitu saja, lalu
ditinggal layaknya menjemur pakaian.)
“Ngawula dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …”
Maksudnya adalah mengabdi kepada abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup.
Diungkapkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu :
- Sang Alif warna hitam, dengan dasar putih.
- Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda.
- Sand Alif warna putih, dengan dasar merah.
Ketika melayani dan
mengobati orang-orang yang sakit, Drs. R.M.P. Sosrokartono selalu
berdiri. Beilau kuat sekali berdiri berjam-jam atau berhari-hari.
Setelah mengobati orang-orang sampai pukul 12 malam, Dar-Oes-Salam
ditutup. Namun beliau tidak langsung tidur, beliau seringkali bermain
catur sampai jam 3, 4 pagi, itupun beliau lakukan sambil berdiri.
Kanthong Bolong
“Nulung pepadhane, ora nganggo mikir
“Nulung pepadhane, ora nganggo mikir
wayah, wadhuk, kanthong.
Yen ana isi lumuntur marang sesami.”
Artinya, “Menolong sesama, tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, saku. Jika (saku) berisi mengalir kepada sesama.”
Dengan demikian,
maksud dari “Ilmu Kanthong Bolong” adalah sebuah pengetahuan konkrit
tentang sebentuk tempat yang selalu kosong, yang secara pasti tempat itu
tak pernah membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada, karena tempat
itu berlobang, maka apapun yang ditaruh di sana selalu mengalir,
sehingga menjadi kosong dan sunyi dari apa saja.
“Nulung tiyang kula tindakaken ing pundi-pundi, sak mangsa-mangsa, sak wanci-wanci.”
Maksudnya, menolong orang itu dilaksanakan di mana-mana, sewaktu-waktu, kapan saja.
Sugih Tanpa Bandha
“Sugih tanpa bandha.
“Sugih tanpa bandha.
Digdaya tanpa hadji.
Ngalurug tanpa bala.
Menang tanpa ngasoraken.”
Artinya, “Kaya tanpa harta. Sakti tanpa azimat. Menyerang tanpa balatentara. Menang tanpa merendahkan.”
Demikianlah kata-kata mutiara yang tertera pada salah satu batu nisan makam Drs. R.M.P. Sosrokartono di Sidhomukti Kudus.
Ajaran Drs. R.M.P. Sosrokartono ini tidak mengajak orang-orang Indonesia jadi orang yang melarat, miskin, tak punya harta, sehingga mudah dipermainkan oleh mereka yang berharta. Tapi sesungguhnya, kembali pada penjelasan bahwa orang kaya itu bukanlah karena banyak harta bendanya, melainkan orang kaya itu adalah orang yang kaya hatinya, yang kaya mentalnya.
“Puji kula mboten sanes namung sugih-sugeng-seneng-ipun sesami.”
Maksudnya, si miskin akan akan tetap jadi miskin atau makin miskin karena bermental miskin.
Bukankah orang kaya itu
orang yang sudah tak lagi membutuhkan sesuatu, karena semuanya telah
terpenuhi? Meskipun anda tak berharta, tapi anda sudah merasa cukup
dengan apa yang anda dapatkan di dunia ini, maka andalah orang kaya itu.
Sebaliknya, meskipun anda banyak berharta, tapi anda masih menginginkan
dan membutuhkan sesuatu yang begini dan begitu, maka anda bukanlah
orang kya, karena anda masih fakir (butuh) dan kebutuhan anda belum
tercukupi.
Digdaya Tanpa Aji
“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”
“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”
Artinya, “Ajiannya tidak lain hanyalah ajian tekad, ilmunya ilmu pasrah, manteranya keadlan Tuhan.”
Perbuatan taat dan meninggalkan maksiat itulah
sumber energi yang dapat membuat seseorang sakti mandraguna, disamping
kemampuan diri mengekang gejolak syahwat dan dari perintah nafsu yang
buruk.
Rumusan beliau “Digdaya tanpa Aji” ada pada tiga tahapan, yaitu :
Tekad
Tekad adalah sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian
diri dalam menghadapi segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan
bujukan dunia. Tekad ada karena ada niat, sementara segala sesuatu itu
tergantung pada niatnya. Jika niatnya itu baik, maka baiklah jadinya.
Selain itu, dengan tekad manusia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya.
Tekad bukan berarti spekulasi miring, tapi lebih mengarah pada sikap
tidak takut pada apapun dan siapapun, sehingga hasil yang dicapaipun
menjadi maksimal. Tekad dapat dijadikan senjata, yakni senjata psikis
dalam menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu tekad dapat dijadikan
ajian, azimat pamungkas dalam segala urusan. Untuk mendapatkan “aji
tekad” tidak perlu melakukan laku (tirakat), tidak pula belajar ilmu
kanuragan dahulu, tetapi “aji tekad” dapat diperoleh dengan menanam
keberanian, kepasrahan, keadilan dan niat yang baik dalam diri.
Pasrah
\
Ilmu pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya, menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan, karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya dan bencana.
Keadilan
Keadilan disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari kebaikan. Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Ketika keadilan-Nya
telah berbicara, maka kebenaranlah yang ada. Ketika keadilan Tuhan
telah menjadi ucapan seseorang dalam denyut kehidupannya, maka kebenaran
dan kebaikanlah yang diperolehnya.
“Tanpa aji, tanpa ilmu, kula boten gadhah ajrih, sebab payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula.”
Artinya, “Tanpa
ajian, tanpa ilmu (kanuragan), saya tidak takut, sebab payung atau
pelindung saya adalah Tuhan dan perisai saya juga hanya Tuhan.”
Bertempur Tanpa Pasukan
“Ngalurug tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.
“Ngalurug tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.
Sesungguhnya musuh
manusia adalah setan, baik setan manusia maupun setan jin, maka kepada
keduanyalah manusia harus melakukan perlawanan. Sekali lagi, setan-setan
itulah yang harus dilawan, diperangi, dan kalau bisa, dimusnahkan saja.
Dengan bekal teksd dan keberanian yang suci, maka tak ada yang tak
dapat dihancurkan, karena semua mahluk akan binasa kecuali Dzat-Nya.
Kasih sayang dapat melunakkan musuh, dapat menolong, dapat dijadikan
pelindung, dan dengan tekad asih, kita tidak akan merasa takut terhadap
siapapun dan apapun.
“Ingkang kula dalaken dede tekad pamrih, ananging tekad asih.”
Artinya, “Yang saya pergunakan bukan tekad pamrih, tapi tekad asih.”
“Anglurug tanpa bala, tanpa gaman; Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang.”
Maksudnnya, mengejar (musuh) tanpa tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh) tanpa perang tanpa pedang.Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah peperangan, pertarungan, atau kekerasan.
Yakinlah bahwa orang yang berjalan dengan membawa cinta kasih kepada
sesama mahluk akan senantiasa mendapatkan pertolongan dan perlindungan
Tuhan.
Meskipun manusia
tidak mencari masalah atau musuh, permasalahan atau musuh itu datang
dengan sendirinya dan akan meniupkan gangguan-gangguan. Akan tetapi,
permasalahan dan musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Tekanan
batin, penderitaan mental, atau nafsu-nafsu kotor yang menghuni lembah
diri kita itulah permasalahan dan musuh kita yang berat lagi
membahayakan, karena tak tampak tetapi dapat kita rasakan.
Nafsu-nafsu jahat
yang menghuni diri manusia bermacam-macam. Nafsu-nafsu itulah yang pada
umumnya membuat manusia menjadi sombong, kikir, dengki, jahat dan segala
bentuk sifat buruk sering bercokol dalam dirinya, sehingga kehinaan dan
kenestapaanlah yang diperoleh, bukan kemuliaan dan keselamatan. Maka,
sangat elegan jika Drs. R.M.P. Sosrokartono mencetuskan rumusan
“Ngalurug tanpa Bala” yang mempunyai muatan ajaran spiritual dalam
rangka menghalau segala bentuk keburukan yang ada didalam diri manusia,
supaya manusia tidak menjadi hina, karena barang siapa yang dikalahkan
dengan hawa nafsunya maka kehinaanlah yang akan bersanding mesra
dengannya.
Trimah Mawi Pasrah
“Trimah mawi pasrah.
Suwung pamrih, tebih ajrih.
Langgeng tan ana susah, tan ana seneng.
Antheng mantheng sugeng jeneng.”
Artinya, “Menerima
dengan pasrah. Tiada pamrih, jauh dari takut. Abadi tiada duka, tiada
suka. Tenang memusat, bahagia bertakhta.”
Konsep “trimah mawi Pasrah”, oleh Drs. R. M. P. Sosrokartono, diperjelas dengan apa yang pernah beliau katakan di bawah ini :
“Ikhlas marang apa sing wes kelakon.
Trimah apa kang dilakoni.
Pasrah marang apa bakal ana.”
Artinya, “Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. Menerima apa yang dijalani. Pasrah terhadap apa yang akan ada.”
Jadi, selain bergandengan dengan ilmu sabar, ilmu pasrah dan ilmu trimah
juga bergandengan dengan ilmu ikhlas, tidak mencari pamrih, tidak
karena ingin dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Apa yang telah
terjadi, biarlah terjadi, karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan
keridhaan akan membawa keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang
sangat disukai oleh Tuhan.
“Trimah mawi Pasrah” juga dapat diartikan bahwa manusia hanya dapat
berusaha, sedangkan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena itu,
janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia,
dibalik kesusahan ada kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan,
yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan
dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.
Suwung Pamrih Tebih Ajrih
” … Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti … “
” … Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti … “
Artinya, ” … Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, semua saya serahkan kepada Tuhan … “
“Yen kula ajrih, kenging dipun wastani ngandut pamrih utawi ancas ingkang boten sae.”
Artinya, “Jika saya takut, boleh dikatakan (bahwa saya) menyimpan pamrih atau niat yang tidak baik.”
“Luh ingkang medal sangking manah punika, dede luh ipun tangis pamrih, nanging luh peresanipun manah suwung pamrih.”
Artinya, “Air mata yang
keluar dari hati ini, bukanlah air matanya tangis pamrih, tetapi air
mata perasan hati yang kosong pamrih.”
Ketika anda
menangis, menangislah karena syukur dan ikhlas, bukan karena
menginginkan imbalan yang tak kunjung tiba. Apalah artinya menantikan
imbalan, jika semua yang ada tak mengizinkan. Apalah artinya tangisan
hanya gara-gara ingin dipuji, dibalas atau diberi, jika kemuliaan jauh
dari kita. Yang terpenting adalah kedamaian, ketentraman, aman,
kebahagiaan dan kemuliaan.
Pamrih itu hanya membuat seseorang menjadi penakut, picik, menderita, menjenuhkan, bahkan dapat membuat orang menjadi hina.Apalah artinya berpegang kepada kesementaraan, jika di alam baka kita dicambuk derita ?!
Padhang Ing Petheng
” … Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta … “
” … Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta … “
Artinya, “Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap; senang dalam kesengsaraan, ribuan juta contohnya.”
Apa saja yang ada di dunia ini relatif. Di bumi ini selalu ada dualisme, seperti padhang-peteng; seneng-sengsara; sehat-sakit; hujan-panas dan lain sebagainya. Demikianlah yang namanya kehidupan. Peteng terus itu tidak ada. Padhang terus juga tidak ada. Seneng
terus itu juga tidak ada. Sengsara terus itupun tidak ada. Oleh karena
itu, yang bertentangan itu dibutuhkan dalam kehidupan ini. Dengan adanya
panjang, kita tahu pendek; dengan adanya sakit, kita bisa merasakan
sehat. Dengan mengetahui baik, maka kita tahu apa itu buruk.
Hujan dan panas,
keduanya dibutuhkan dalam kehidupan ini. Kalau orang tidak mau peteng
dan selalu ingin yang padhang saja, apa jadinya dunia ini? Kapan kita
istirahat, kapan kita tidur? Kalau peteng terus, apa saja yang semula
tumbuh pasti mati. Sebab tidak terkena sinarnya matahari. Kalau panas
terus, bumi ini akan kering kerontang, kematian akan tersebar di muka
bumi. Kalau hujan terus, pasti terjadi banjir di mana-mana. Daratan akan
tenggelam, kelaparan melanda dunia disertai kematian umat manusia.
Dimana-mana yang ada cuma air! Apa jadinya bumi ini?
Senang dan sengsara
harus diterima seperti apa adanya, karena kedua-duanya membawa manfaat
dan didalamnya ada hikmah yang tersembunyi. Janganlah kita terikat atau
terbelenggu oleh senang dan susah. Jika kesengsaraan datang, terimalah.
Jika kesenangan datang, sambutlah. Mengapa? Supaya hidup ini dapat
dijalani dengan tenang.
Di manapun anda temukan kegelapan, maka terangilah. Di manapun anda temukan kesengsaraan, maka berilah kesenangan. Janganlah berhenti melakukan tugas itu, karena berjuta-juta yang membutuhkan cahaya terang dan sinar kebahagiaan.
ADA KITAP ASLINYA MAS...
BalasHapusADA KITAP ASLINYA MAS...?
BalasHapusAdakah foto beliau ???
BalasHapusSaya sangat mengagumi beliau
jika ada yag memiliki bisa dikirim !!!
Matur nuwun dipun kintuni wewarah Ki Sostrokartono. Mugi2 kita sedaya saged kalimpahan hikmah manfaat lan saged ngaleksanaaken. Aamiin
BalasHapusMatur nuwun wewarahipun, mugi manfaati dhateng gesang kita sami.
BalasHapusSaya pribadi asal Sumatera Utara yang sudah lama merantau kejawa. Dan saat inu saya kembali lagi ke Sumatera, yang saya bawa ilmu dari Jawa yaitu banyaknya tokoh-tokoh Jawa yang sangat menginspirasi dalam kehidupan saya. Semoga bermanfaat ilmu yang saya dapatkan dari para leluhur tokoh Jawa.
BalasHapusBeliau orang hebat
BalasHapusAMPURE MIQ
BalasHapusSru sanget mupangati, nanjem ing ati lan budi. Pinuji Gusti ing salami.
BalasHapus