SERAT WEDHATAMA: JANGAN MENURUTI KEMAUAN SENDIRI
Serat
Wedhatama, Pupuh Pangkur, bait ke tiga di bawah ini adalah lanjutan
dari bait ke dua (baca posting Serat Wedhatama: Biar tua harus tetap
belajar). Pesan yang disampaikan sebenarnya lebih bersifat umum, tidak
hanya kepada orang “tua” melainkan kepada semua orang. Hanya saja karena
pada Pupuh sebelumnya disebutkan perilaku yang “gonyak-ganyuk
nglelingsemi” kemudian pada pupuh ke tiga ini diawali dengan “Nggugu
karsaning priyangga” (menuruti kemauan sendiri) saya berpendapat bahwa
pesan kepada orang “tua” lebih berat bobotnya daripada pesan kepada
orang “muda”. Lengkapnya sebagai berikut:
Nggugu karsaning priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling,
Lumuh ing ngaran balilu,
Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing samudana,
Sesadon ingadu manis
Terjemahannya
saya bagi dua. Yang pertama adalah baris pertama sampai dengan ke empat
tentang menuruti kemuan sendiri, atau bahasa Jawa populernya adalah
“Nggugu karepe dhewe”:
(Priyangga: diri; Lamun: sewaktu, pada saat; Parah: pakai dipikir; Angling: bicara). Terjemahan bebasnya sebagai berikut:
Menuruti kemauan sendiri
Bila berbicara tanpa dipertimbangkan
Tetapi tidak mau dianggap bodoh,
Maunya dipuji-puji
Jadi
pituturnya: Janganlah kita “gonyak-ganyuk” menuruti kemauan sendiri.
Kalau ngomong “mbok ya” jangan asal bunyi. Sudah asal ngomong, dibilang
bodoh tidak mau,maunya malah disanjung-sanjung. Pitutur ini rasanya
bukan untuk orang kecil. Mana ada orang kecil, berani “gonyak-ganyuk”.
Tiga
baris terakhir Pupuh Pangkur bait ke tiga Serat Wedhatama memberi
penegasan kita harus bagaimana. Terjemahannya sebagai berikut:
Tetapi manusia yang sudah waspada terhadap situasi
Disamarkan dengan “samudana” (bicara baik dengan wajah manis)
Prasangkanya selalu baik.
Menghadapi
orang yang “maunya sendiri” tidak mau ditentang, suka dipuji hendaknya
kita tetap berkepala dingin. Apalagi pada bait ke dua (posting sebelum
ini) disebutkan “samangsane pesamuan (dalam pertemuan). Tetaplah kita
berkata baik dengan wajah tetap manis “sinamun ing samudana, sesadon
ingadu manis”. Tidak ada ruginya bagi kita. (IwMM)
CATATAN:
Samudana
“bukan” lamis. Memang sama-sama lain di mulut lain di hati. Bedanya,
orang lamis bicaranya baik tapi menyembunyikan maksud tidak baik.
Sedangkan “Samudana” kita bicara tetap baik walau hati tidak senang atau
tidak setuju. Mengapa? Baca posting setelah ini: Serat Wedhatama: Yang Waras Ngalah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar