7a. muridnya itu : Si Weksirsa,
Mahisawadana, Si Lendya, Si Lende, Si Lendi, Si Guyang, Si Larung, dan
Si Gandi. Itulah yang mengiringkan Sang Randa di Girah. Mereka (bersama)
menari di kuburan itu. Segera muncul beliau Paduka Batari Durga bersama
pengikutnya banyak, semua turut menari (bersama). Calon Arang memuja
kepada beliau Paduka Batari Bagawati. Batari berkata, “Aduhai engkau
anakku, Calon Arang. Apa maksudmu datang menghadap kepadaku, (maka)
engkau diikuti oleh para muridmu semua, datang memujaku bersama-sama?”
Sang Randa berkata menyembah, “Tuanku, putra Tuankan hendak mohon,
mudah-mudahan binasalah orang-orang di seluruh kerajaan. Begitulah
tujuan utama putra Tuanku.” Batari berkata, “Aduh putraku. Ya, aku
bolehkan, tetapi janganlah membunuh sampai di tengah. Jangan membunuh
sangat dendam anakku.” Sang Randa menyetujui, mohon dirilah ia kepada
Batari Bagawati. Sang Calon Arang
7b. segera pergi, lepas jalannya, diiringi oleh muridnya semua. Mereka menari di pekuburan di tengah malam, membunyikankamanak, kangsi bersama-sama
menari. Setelah selesai menari, kembalilah mereka ke Girah. Mereka
bersenang hati pulang ke rumahnya. Tidak lama sakitlah orang-orang di
desa-desa. Banyak yang mati bertumpuk-tumpuk. Tidak diceritakan Calon
Arang itu. Diceritakanlah Sang Raja di kerajaan. Sri Maharaja Erlanggya
duduk dihadap di balai penghadapan. Lalu berkatalah Rakryan Apatih.
Ucapnya, “Patik hamba Batara memberitahukan di hadapan Tuan Hamba,
karena rakyat Tuan Hamba banyak mati, sakit panas dingin sehari dua hari
lalu meninggal. Adapun yang kelihatan menjalankan (těluh) janda Girah, bernama Calon Arang. Dia menari di sana di pekuburan, datang bersama muridnya. Banyak yang melihat mereka itu bersama-sama di sana .” Begitulah laporan Ken Apatih.
8a. Semua orang di tempat
persidangan sama-sama membenarkannya, memang benar demikian, seperti
laporan Ken Apatih. Sang Raja berkata dengan sedih, kemudian beliau
marah, “Manakah rakyat dan prajuritku.” Tidak lama bersamaan datang
prajurit “tentara rahasia”. Pergilah kamu, serbu dan bunuh Calon Arang.
Jangan engkau seorang diri, hendaklah engkau membawa prajurit banyak,
jangan lengah.” Semua prajurit minta diri menghormat di hadapan Sang
Raja, “Hamba Raja mohon pamit serta mohon perlindungan Dewa. (Hamba)
akan membunuh janda di Girah.” Prajurit itu berangkat. Tidak diceritakan
perjalanan di jalan, segera sampai di Girah. Tibalah para prajurit di
tempat tinggal Calon Arang. Mereka hendak membunuh selagi waktu
orang-orang sudah tidur, pada waktu tidak ada tanda-tanda orang bangun. Para prajurit
segera mengikat erat-erat rambut Sang Randa, menghunus kerisnya. Ketika
mereka hendak menusuk Randa, tangan prajurit itu terasa berat dan
gemetar. Tiba-tiba Calon Arang terkejut bangun. Keluarlah
8b. api dari mata, hidung, mulut
dan telinga. (Api) menyala berkobar-kobar membakar prajurit itu. Matilah
dua orang prajurit itu. Yang lain menjauh, cepat-cepat lari. Tidak
diceritakan perjalanan di jalan. Mereka segera sampai di istana. Sisa
prajurit yang mati itu berkata, “Tuanku yang mulia, tidak berhasil
prajurit Paduka Tuanku. Dua orang meninggal akibat sihir janda di Girah.
Memancarlah api dari badan berkobar-kobar, membakar prajurit Paduka
Tuanku.” Sang Raja berdiam tertegun mendengar laporan prajuritnya. Lalu
Sang Raja berkata, “Hai, Mahapatih, bingunglah hatiku mendengar laporan
“tentara rahasia” itu. Bagaimanakah engkau menjaga mantriku semua?”
Tiba-tiba Sang Raja segera pergi dari tempat pertemuan, bertambah
sedihlah Raja karena “tentara rahasia” mati dua orang. Tidak diceritakan
Sang Raja, akan diceritakanlah jandi di Girah. Makin bertambahlah
9a. marahnya karena kedatangan
para prajurit, apalagi tentara Sang Raja. Calon Arang berkata
memberitahukan kepada muridnya, mengajak pergi ke kuburan. Dia mengambil
lagi buku suci itu. Setelah mengambil buku suci itu, dia segera pergi
diikuti oleh muridnya semua. Dia datang di pinggiran kuburan, tempat di
bawah naungan pohon kepuh, dikelilingi keindahan. Daunnya lebat menjulur
menutup sampai ke bumi. Di bawahnya jalan yang datar (bersih), seperti
disapu pada siang dan malam. Di sanalah janda Girah duduk, dikerumuni
oleh semua muridnya. Si Lendya bertanya kepada Sang Randa, “Mengapa
Tuanku berbuat seperti sekarang, terhadap kemarahan Sang Raja? Lebih
baik mencari keselamatan, menyembah di hadapan Sang Pendeta yang hendak
menunjukkan surga kematian.” Lalu Si Larung berkata, “Apakah yang
dikhawatirkan terhadap kemarahan Sang Raja? Sebaliknya, diperkuatlah
9b. penyerangan sampai ke wilayah
tengah.” Mereka (semua) mendukung ucapan Si Larung (mengikuti) Ni Calon
Arang menurut. Kemudian dia berkata, “Ya, diperkuatlah tujuanku Larung.
Bunyikanlah kamanak kangsimu itu. Marilah kita menari, satu per
satu, akan kulihat gerakanmu masing-masing. Nanti jika tiba saatnya, kau
bersama menari.’ Si Guyang segera menari, gerak tarinya
merentang-rentangkan tangan menepuk-nepuk. Dia bergerak terengah-engah
sukar terbalik bersama kainnya. Matanya melirik-lirik, menoleh ke kanan
dan kiri. Si Larung pun menari, geraknya bagaikan harimau hendak
menerkam mangsa, matanya berwarna merah. Ia telanjang. Rambutnya terurai
ke depan. Si Gandi menari. Dia menari melompat-lompat, rambutnya
terurai di samping. Matanya kelihatan mirip ganitri. Si Lendi menari,
tariannya dengan melangkah cepat (berhenti sejenak lari lagi) dengan
kainnya. Matanya
10a. menyala, bagaikan api hampir
membakar, mendekat ke rambutnya yang terurai. Si Weksirsa menari, gerak
tarinya membungkuk-bungkuk, lirikan matanya memandang tanpa berkedip,
rambutnya terurai ke samping. Ia telanjang. Si Mahisawadana menari
dengan satu kaki. Setelah (menari) dengan satu kaki, dia berjungkir
balik dengan lidahnya menjulur ke luar, tangannya bagaikan hendak
menerkam. Senanglah hati Calon Arang. Setelah mereka menari bersama, dia
membagi tugas masing-masing, menjadi lima arah.
Si Lendi di Selatan, Si Larung di Utara, Si Guyang di Timur, Si Gandi
di Barat, Calon Arang, Si Weksirsa, dan Mahisawadana di tengah. Setelah
mereka membagi menjadi lima penjuru itu,
pergilah Sang Calon Arang ke tengah kuburan. Ia menemukan mayat orang
mati mendadak, pada hari Sabtu Kaliwon. Mayat itu didirikan,
10b. diikatkan pada pohon kepuh.
Mayat itu dihidupkan, diberi nafas. Si Weksirsa dan Mahisawadana
membukakan matanya. Hidup kembalilah mayat itu. Mayat itu dapat
berbicara. Ucapnya, “Siapakah Tuan yang menghidupkan hamba, sangat besar
hutang hamba. Hamba tidak tahu membalasnya itu. Hamba hendak mengabdi
kepadanya. Lepaskanlah ikatan hamba dari pohon kepuh. Hamba hendak
berbakti dan bersujud, hendak menjilat debu pada kaki Tuan Hamba.” Lalu
Si Weksirsa berkata, “Engkau kira engkau akan hidup lama? Sekarang
engkau akan kupenggal lehermu dengan golok.” Segera lehernya dipenggal
dengan golok. Melesatlah kepala mayat yang dihidupkan itu, darahnya
menyembur menggenang. Darah itu dipakai mencuci rambut oleh Sang Calon
Arang. Kusutlah rambutnya oleh darah, ususnya menjadi kalung dan
11a. dikalungkannya, dengan
secepatnya diolah dipanggang semua, digunakan untuk korban para “makhluk
buta”, (dan) segala yang tinggal di kuburan itu, terutama Paduka Batari
Bagawati. Korban utama itu dihaturkan. Segera muncullah Paduka Batari
dari kahyangannya. Lalu berkatalah ia kepada Calon Arang, “Aduh, Anakku
Calon Arang, apakah maksudmu mempersembahkan makanan kepadaku, bakti
menyembah? Saya terima persembahanmu itu.” Janda Girah menjawab,
“Tuanku, penguasa dunia (raja) marah kepada putra paduka Tuanku Batari.
Maksud Patik Batari, mohon perkenan Batari, untuk membinasakan orang di
seluruh kerajaan sampai di tengah sekali.” Batari berkata, “Ya, aku
senang Calon Arang, tetapi engkau jangan tidak waspada dalam bertindak,
jangan lengah.”Lalu janda di Girah minta pamit, menghormat
11b. kepada Batari. Segera
lepaslah perjalanannya. Mereka bersama-sama menari di perempatan jalan.
Seluruh kerajaan terserang penyakit, sakit semalam dua malam, tidak lain
panas dingin sakitnya. Orang-orang itu meninggal, bergantian
menguburkan (orang mati). Esok pagi menguburkan temannya, sore hari ia
dikuburkan. Mayat bertumpuk-tumpuk tindih-menindih di kuburan. Tidak ada
selanya di kuburan dengan batas lubang pembuangan air, karena banyaknya
mayat itu. Yang lain di ladang atau pun di jalan, ada pula membusuk di
rumahnya. Anjing melolong makan mayat. Burung gagak terbang berkeliaran,
ikut bersama-sama mematuk-matuk bangkai. Lalat berdengung bergemuruh di
dalam rumah. Banyak rumah dan tempat tinggal yang kosong. Ada juga
orangnya yang pergi jauh, mencari tempat tinggal yang bebas penyakit.
Tujuannya mengungsi agar tetap hidup. Yang sedang sakit dipikulnya. Ada yang mengemban anak dan yang dituntunnya, (ada) yang dibawa seseorang. Buta itu menyaksikan berteriak, teriaknya keras. Katanya,
12a. “Janganlah engkau pergi, desamu telah aman, penyakit telah hilang, kembalilah engkau ke sana ,
engkau pasti hidup.” Setelah Buta berkata begitu, banyak orang mati di
jalan. Orang-orang itu pergi cepat membawa yang lain. Buta yang ada di
rumah kosong, (mereka) bersenang-senang, ada yang berjungkir balik,
riang gembira. Yang lain di lebuh dan di jalan besar. Si
Mahisawadana masuk ke dalam rumah. Dia berjalan di antara batas.
Sakitlah orang-orang serumah. Si Weksirsa masuk di tempat tidur orang,
berjalan di samping tembok, membuka-buka potongan (leher), minta korban
darah mentah dan daging mentah. “Itulah yang saya inginkan, janganlah
lama-lama,” ucapnya. Tidak diceritakan orang-orang yang mati dan sakit
dan tingkah laku Buta membunuh. Diceritakan Sang Raja di kerajaan.
Beliau dihadap di balai penghadapan, kelihatannya kurang bahagia di
balai penghadapan itu, akibat kesedihan Sang Raja, tingkahnya
membingungkan.
12b. karena orang-orang di
kerajaan banyak yang mati. Selain itu banyak orang yang sakit. Bagaikan
tanpa cahaya kerajaan itu. Sang Raja segera bersabda kepada Apatih dan
para Mentri Utama, mengutus agar mengundang Sang Pendeta, Sang Resi,
Sang Bujangga, dan para Guru. Diperintahkan mencari upaya masing-masing,
serta memuja Dewa, karena orang-orang di seluruh kerajaan merana. Para Guru
mengadakan pemujaan dan Sang Pendeta memohon kepada Sang Hyang Agni.
Kira-kira tengah malam muncullah Sang Hyang Caturbuja dari Sang Hyang
Agni. Kemudian beliau berkata, “Om-om, adalah beliau bernama Sri
Munindra Baradah, tinggal di pertapaan (berada) di Semasana di Lemah
Tulis. Pendeta yang sempurna. Dialah yang dapat meruwat kerajaanmu, yang
akan menghilangkan noda di dunia, membuat sejahtera dunia.” Setelah
beliau bersabda demikian, moksa lenyap terbang (di angkasa). Para
Maharsi yang mengadakan pemujaan itu senang mendengarkan semua
13a. sabda Sang Caturbuja.
Kemudian pada esok hari, mereka bersama-sama melaporkan hal itu kepada
Sang Raja, tentang semua ucapan Sang Caturbuja, ketika Sang Raja sedang
dihadap di luar balai penghadapan. Sang Pendeta berkata, “Tuanku Sang
Raja, adalah Sang Caturbuja, muncul dari Sang Hyang Agni (Api Pemujaan),
lalu bersabda, bahwa Sang Sri Munindra Baradahlah yang akan meruwat
kerajaan Tuanku. Beliau yang pertapaannya di Semasana Lemah Tulis yang
akan menghilangkan noda di dunia. Begitulah sabda Sang Caturbuja.”
Yakinlah Sang Raja, terhadap ucapan Sri Guruloka. Sang Raja
memerintahkan supaya mengirimkan utusan menghadap Sang Muniswara, yang
ada di Semasana, “Hai, Kanuruhan! Pergilah engkau ke pertapaan, di
Semasana Wihcitra. Undanglah Sang Pendeta Sri Yogiswara Mpu Baradah.
Kumohon agar meruwat kerajaan kami yang terserang wabah penyakit.
13b. Janganlah engkau tidak
cepat.” Sang Kanuruhan segera minta pamit, menghormat di hadapan Sri
Raja. Berangkatlah ia naik kereta ditarik kuda. Cepatlah perjalanan
Kanuruhan itu. Ia kemalaman di jalan, tetapi berjalan juga diterangi
sinar bulan, berkabut emas terhalang di jalan. Keesokan harinya Sang
Kanuruhan berjalan. (Ia) segera datang di asrama. Ken Kanuruhan turun
dari kereta. Ia masuk pintu asrama bertemu Sang Pendeta di pertapaannya.
(Sang Pendeta) menyapa kepada tamu, beliau sungguh budiman, “He,
bahagialah engkau laki-laki, saya tidak mengetahui engkau datang.
Tentang tujuanmu ke asrama. Mengapa engkau langsung mencari saya pada
pagi hari? Namun saya telah tahu tentang keinginanmu itu.” Berkatalah
Kanuruhan memberitahukan kepada Sang Pendeta, “Hamba
14a. berasal dari Kerajaan
Kadiri. Hamba Kanuruhan, diperintahkan untuk mendatangi Tuanku Yang
Mulia, Sang Pendeta, untuk mengundang Sang Pendeta. (Hamba) diutus oleh
Sang Penguasa dunia. Adapun maksud raja agar Sang Pendeta datang ke
kerajaan. Sang Penguasa dunia meminta belas kasihan Sang Pendeta, mohon
agar orang-orang di seluruh kerajaan dihidupkan oleh Sang Pendeta. Sang
Pendetalah yang hendak menyucikan kerajaan dari malapetaka, karena wabah
penyakit, banyak (orang) yang mati. Adapun kerajaan dilanda wabah
penyakit. Ada janda dari Girah, bernama Calon Arang. Dialah penyebab
sakit itu. (Ia) mempunyai seorang anak putri bernama Manggali. Adapun
penyebab sedih orang yang bernama Calon Arang, karena tidak ada orang
yang mau melamar anaknya bernama Manggali. Sang Calon Arang sangat
sedih.” Lalu Sang Jatiwara berkata, “Benar seperti yang dikatakan itu.
Saya tidak menolak datang bersama ke sana. Ada murid saya seorang. Dia
akan mengikutimu Kanuruhan
14b. ke kerajaan. Namanya Mpu
Kebo Bahula. Dia akan kusuruh melamar Sang Manggali. Engkau Kanuruhan
memberitahukanlah kepada Sang Penguasa dunia, apabila Mpu Bahula akan
melamar Manggali. Berapa saja mahar yang diminta hendaklah dipenuhi oleh
raja. Demikian pesan saya kepadamu. Saya juga nanti menasihati Mpu
Bahula, apabila dia telah sehati dan kawin memadu kasih dengan Ratna
Manggali.” Sang Kanuruhan mengiyakan. Sang Pendeta berkata lagi kepada
pembantunya, menyuruh memasakkan makanan dan buah-buahan, karena di
tempat(nya) Sang Kanuruhan tidak ada. Tidak lama datanglah jamuan dengan
segala perlengkapan upacara sangat indah kelihatannya, tuak, nasi,
ikan, tampo, berem , kilang juga sěrěbad budur. Kanuruhan
segera makan bersama-sama. Mereka (bersama) minum cakilang, pikirannya
sama-sama senang. Ada yang bernyanyi, bercerita,
15a. sambil menari. Apakah yang
menyebabkan demikian? Karena sedang diperintah oleh raja, lalu
mendapatkan makanan dan buah-buahan. Tidak semata-mata sejahtera seluruh
kerajaan itu, pikirnya. Mereka bermalam di pertapaan semalam. Esok pagi
Sang Kanuruhan minta pamit kepada Sang Pendeta. Mereka pun menghormat
dan Mpu Bahula diserahkan. Tidak diceritakan dalam perjalanan Ken
Kanuruhan, demikian pula Mpu Bahula, mereka segera sampai di istana.
Dijumpailah Sang Raja yang sedang dihadap di Manguntur, dihadap para
Adipati dan patih. Ken Kanuruhan dan Mpu Bahula kemudian datang ke
tempat pertemuan. Ken Kanuruhan menghormat di depan Sang Raja, lalu ia
berkata kepada Sang Raja, “Tuanku, tidak dapat didatangkan Sri Munindra
oleh hamba. Itu siswanya saja bernama Mpu Bahula datang menghadap Paduka
Sang Raja. Dia diperintahkan untuk melamar Ratna Manggali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar