SERAT WEDHATAMA: ORANG BERILMU “SABAR DAN TIDAK SOMBONG”
Meneladani
padi yang makin berisi makin tunduk, sementara padi yang kosong tetap
tengadah, demikian pula orang berilmu harus makin tunduk dalam
pengertian makin tidak suka pamer, makin tidak suka membual, walaupun
yang dibualkan ilmunya. Apakah “ilmu padi” masih kita pahami? Banyak
diantara kita sudah tidak pernah lagi melihat beras, apalagi tanaman
padi. Tahunya sudah jadi nasi di piring.
Sebagai lanjutan dari bait ke empat Pupuh Pangkur, Serat Wedhatama, bait ke lima berbunyi sebagai berikut:
Mangkono ngelmu kang nyata,
Sanyatane mung weh reseping ati,
Bungah ingaran cubluk,
Sukeng tyas yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan sadina dina
Aja mangkono wong urip.
Adapun terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketenangan hati,
Tetap senang dikatakan bodoh
Tetap gembira bila dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah seperti itu orang hidup.
Dunia
akan tenteram kalau seperti ini. Dewasa ini bahkan adu ilmu dipamerkan
sampai di media. Bahkan menjadi komoditi. Orang senang bisa debat, bisa
menyalahkan ilmu orang dan mengatakan saya yang paling benar. Debat
dilihat orang banyak, bahkan mendapat tepuk tangan. Bagi yang tepuk
tangan tidak ada masalah. Pertama kita diajari tepuk tangan sejak kecil:
“Ayo tepuk tangan, anak-anak” atau “Mana tepuk tangannya?” Setelah
dewasa kita tahu bahwa “Keplok ora tombok”, alias tepuk tangan itu
gratis, siapa tahu malah dikasih uang.
Kembali
ke Serat Wedhatama, orang berilmu itu sudah mengendap. Batinnya sudah
tenang dan tenteram. Jadi baik dikatakan bodoh maupun dihina, hatinya
akan tetap senang. Ia akan tampil “ririh, rereh dan ruruh”, tampil sabar
dan tenang, walau mungkin saja “sinamun ing samudana”. Tidak seperti si
dungu yang “nggugu karsaning priyangga”, selalu sombong, hari-hari
maunya dipuji. Orang yang berilmu tidak butuh pujian.
Kepada
orang “ugungan sadina-dina” yang “kandhane nora kaprah” dan hanya
“nggugu karsaning priyangga” inilah Sri Mangkunegara IV berpesan melalui
baris terakhir bait ke empat Pupuh Pangkur dalam Serat Wedhatama: “Aja
mangkono wong urip”, orang hidup jangan seperti itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar