15b. Demikianlah pesan yang
diberikan oleh Pendeta di Buh Citra. Jika diminta uang maharnya, berapa
pun permintaan Sang Calon Arang, hendaklah dipenuhi saja oleh Tuanku
Raja. Jika mereka telah sehati Mpu Bahula dengan Ratna Manggali nanti,
pada waktu itulah Sang Pendeta hendak mengunjungi Mpu Bahula”. Sang Raja
lalu berkata, “Saya menyetujui ucapmu Kanuruhan. Baiklah engkau
antarkan Mpu Bahula ke Girah, disertai oleh kawan-kawanmu Kanuruhan!”
Tidak diceritakan mereka di perjalanan. Ia segera tiba di Girah. Mereka
masuk di perkarangan rumah Calon Arang. Mpu Bahula duduk di kursi tamu
di sana. Tiba-tiba keluarlah
16a. Calon Arang. Segera
menyambut tamu itu dan menyapanya. Ucapnya, “Om-om, bahagia engkau anak
laki-laki, yang menjadi tamuku. Dari manakah asal Anda? Lagi pula hendak
ke manakah Anda? Wajah penampilanmu sangat tampan seperti bukanlah
keturunan orang hina. Saya bertanya kepada tamu ini (karena) tidak
mengenalnya.” Mpu Bahula turun dari tempat duduk dan melepaskan ujung
kain bawah. Lalu katanya perlahan, “Sungguh-sungguh Paduka sangat
bijaksana dalam sastra dan agama, bagaikan meneteskan gula madu dari
mulut Paduka. Semogalah tidak salah penerimaan yang Anda berikan yang
membahagiakan diri hamba. Baiklah saya berterima kasih kepada Anda yang
membahagiakan diri hamba, kepada Tuanku.” Janda Girah berkata, “Baiklah
anak laki-laki marilah kita duduk di rumah dahulu.” Mpu Bahula duduk
bersama Sang Calon Arang. Berkatalah
16b. Mpu Bahula, “Saya hendak
mohon perkenan Tuan rumah, minta agar memberikan belas kasih kepada
hamba. Tujuan hamba hendak melamar putri Tuanku, bernama Ratna Manggali.
Barangkali saya tidak mengetahui isi hati Tuanku. Tentang tempat asal
hamba, hamba bujangga dari Gangga Citra, anak Maha Pendeta di Lemah
Tulis. Saya bernama Mpu Bahula. San Pendeta menyuruh supaya melamar
putri Tuanku, Si Ratna Manggali. Tidaklah salah Tuanku berbesan dengan
Sang Pendeta.” Randa diam, lalu berpikir di dalam hati. Dia sangat
senang bermenantukan Mpu Bahula,, lebih lagi mempunyai besan Sang
Pendeta, sangat senang rasa hati Calon Arang. Kemudian dia berkata,
“Mengapa saya tidak senang, apabila Mpu Bahula hendak melamar anakku,
seperti perintah Sang Pendeta?
17a. Namun, janganlah tidak
sungguh-sungguh kamu dengan Ratna Manggali.” Mpu Bahula berkata,
“Mengapa saya tidak akan bersungguh-sungguh dengan Manggali? Pun Bahula,
hanya dengan surat (lamaran). Menuruti ucapan Tuanku mengenai uang
maharnya, sepermintaan Tuanku. Saya akan datang menyediakannya.” Calon
Arang berkata, “Hai, laki-laki, bukan tujuan besarnya mahar. Jika kau
mau bersungguh-sungguh saja sesuai dengan harapanku, berapa pemberianmu
kami terima.” Inilah yang diserahkan oleh Mpu (Bahula) : sirih tanda
pertunangan, perak hadiah perkawinan, selendang, permata ratna mutu
manikam yang bersinar. Lalu diterima oleh Calon Arang (saja) pemberian
Mpu Bahula. Panjang apabila diceritakan. Tidak disebutkan siang dan
malam, berhasillah dipertemukan Mpu Bahula dengan Ratna Manggali.
Bahagia perkawinannya saling mencintai, mesra bagaikan dewa dan dewi
siang dan malam. Tidak disebutkan Mpu Bahula.
17b. Diceritakan Calon Arang jika menjelang malam hari mengambillipyakara.
Setelah pustaka itu diambil, ia segera pergi menuju ke kuburan.
Kembalinya dari kuburan itu, sekitar tengah malam. Demikianlah beliau
terus menerus. Mpu Bahula berkata kepada Sang Manggali, “Dinda, adikku
tercinta, mengapakah ibu selalu pergi pada malam hari? Saya khawatir
Dinda. Keinginan saya hendak mengikutinya, hidup atau pun mati saya akan
bersama dengan ibu. Beritahulah yang sesungguhnya, Adikku! Apakah
sebenarnya pekerjaan ibu, Dinda! Jika beliau sedang demikian, saya amat
khawatir.” Lalu Ratna Manggali berkata kepada suami, “Kakakku akan saya
katakan kepadamu, yang sebenarnya saja. Janganlah kakak mengikutinya
berbuat seperti itu, sebab beliau pergi ke kuburan,
18a. akan menjalankan sihir, yang
menyebabkan kerajaan hancur. Itulah yang menyebabkan banyak orang mati,
mayat memenuhi tegal dan kuburan, banyak rumah yang kosong. Begitulah
tujuan ibu.” Mpu Bahula berkata istrinya, “Adikku permata hati yang saya
cintai, yang menjadi permata dunia. Kakakmu ingin tahu dan melihat
anugerah itu, yang dipegang oleh ibu. Saya ingin mempelajarinya.” Ketika
Calon Arang sedang pergi ke kuburan, pustaka itu diberikan oleh Sang
Manggali kepada kakaknya. Lalu dibaca oleh Mpu Bahula, (lalu) hendak
dimintakan izin kepada adiknya, untuk dimohonkan nasihat kepada Sang
Pendeta. Lalu diizinkannya. Mpu Bahula segera pergi menuju Buh Citra.
Tidak diceritakan dalam perjalanan. Ia segera datang di asrama
18b. di kuburan itu. Dia langsung
menuju tempat Sang Pendeta. Beliau dijumpai sedang duduk di rumah kecil
dihadap oleh muridnya. Beliau terkejut melihat Mpu Bahula datang
membawa lipyakara. Menyembahlah Mpu Bahula di kaki Sang Pendeta,
lalu menjilati debu yang berada di telapak (kaki) Sang Pendeta
ditempatkannya di ubun-ubun. Senanglah hati Sang Pendeta, melihat
kedatangan muridnya. Berkatalah beliau, “Om-om anakku Mpu Bahula datang.
Kamu membawa pustaka untuk saya. Apakah barang itu milik Calon Arang?”
Mpu Bahula memberitahukan kepada Sang Pendeta, memang benar pustaka itu
milik Calon Arang. Lalu pustaka itu dipegang oleh Sang Pendeta. Sastra
itu berisi hal sangat utama untuk jalan kebaikan, menuju kesempurnaan,
puncak rahasia pengetahuan isi pustaka itu. Mengapakah (pustaka)
diarahkan menuju jalan yang salah oleh Sang
19a. Calon Arang, menuju ke kiri,
yaitu menjalankan ilmu sihir, kesengsaraan dunia dipegang. Sang Pendeta
berkata kepada Mpu Bahula, “Kembalilah engkau ke Girah segera, bawa
pustaka olehmu, suruh agar disimpan oleh adikmu Manggali. Saya besok
pagi akan menceritakan kepadamu. Adapun saya melalui desa tempat yang
terkena musibah dan di kuburan batas tegalan. Engkau pergilah
mendahului.” Mpu Bahula lalu minta diri mengusap kaki kepada Sang
Pendeta. Ia berangkat. Tidak diceritakah mengenai Mpu Bahula dan Ratna
Manggali, mereka saling mencitai siang dan malam. Calon Arang sangat
bahagia hatinya, sangat sayang kepada anak dan menantu, membawanya
sampai besok malam, tidak hilang ditanyakannya. Diceritakan Sang Pendeta
di Lemah Tulis.
19b. Pagi-pagi beliau berangkat
dari asrama, diikuti oleh tiga orang muridnya. Perjalanan Pendeta
Baradah sangat cepat. Tidak diceritakan perjalanannya, beliau segera
datang di desa yang menderita wabah penyakit, jalan sepi rumputnya
lebat. Akhirnya, beliau bertemu dengan orang yang akan menyalakan api,
hendak membakar mayat. Mayat itu didapatkan oleh Sang Pendeta dalam
keadaaan dipeluk oleh istrinya yang menangis. Mayat itu ditutupi dengan
kain berwarna putih. Sang Pendeta berkata, “Hai saya kasihan melihatmu,
menangis memeluk mayat suami. Bukalah olehmu mayat suamimu itu. Saya
akan melihat mayatnya itu.” Mayat itu dibuka, berdenyutlah detak
jantungnya. Dibuka dua kali, bernafaslah. Kira-kira dua kali waktu orang
makan sirih, dapat duduklah orang yang telah mati itu
20a. oleh Sang Pendeta. Lalu
berkatalah orang yang telah mati kepada Sang Pendeta, “Tuankau alangkah
besar utang saya kepada Sang Pendeta. Saya tidak dapat membayar utangku
itu kepada Paduka Tuan Hamba.” Berkatalah Sang Yogiswara Baradah, “Hai,
tanpa alasan katamu itu, jangan begitu. Nah tinggallah kau atau kau
pulang ke rumahmu. Aku meneruskan perjalanan.” Sang Pendeta pergi,
bertemulah beliau dengan mayat tiga orang berjajar. Dua mayat masih utuh
satu lagi telah rusak. Mayat itu diperciki air gangga yang suci. Yang
masih utuh, berhasil hidup seperti semula. Beliau segera pergi dari
tempat itu, (beliau) menuju rumah kosong, halamannya sepi, rumputnya
tumbuh subur. Beliau masuk ke dalam rumah, beliau menemukan orang sakit.
Dua orang sudah meninggal. Adapun tetangganya yang lain semuanya sakit.
Yang seorang lagi
20b. merintih kesakitan. Yan
gseorang lagi tinggal denyutnya saja. Semua diperciki air suci oleh Sang
Pendeta. Keduanya berhasil hidup kembali, bersama menghormat dan
menyembah di kaki Sang Pendeta. Lalu menjilat debu di telapak kaki Sang
Pendeta. Sang Pendeta Baradah berkata, menyuruh kedua orang muridnya itu
kembali ke pertapaan karena di sana sepi, pertapaannya di Semasana.
Pulanglah kedua muridnya itu. Dia minta diri kepada Sang Pendeta
menghormat. Telah lepaslah perjalanan murid itu, segera sampai
di pertapaan Semasana di Buh Citra. Tidak diceritakan hal itu.
Disebutlah Sang Pendeta, beliau pergi dari tempat itu, ke arah barat
daya, beliau melewati tepi kuburan perbatasan tegalan, rumputnya rimbun,
dan pakis, waduri, dan pepohonan. Serigala meraung memakan bangkai
21a. di antara rerumputan pakis.
Burung gagak berbunyi keras berkepanjangan di pohon. Sang Pendeta
Baradah datang ke tempat itu. Anjing diam tidak menggonggong lagi, juga
bunyi burung gagak berhenti, melihat Sang Pendeta dtang, Segala tempat
yang dilewati oleh Sang Jiwatma, yang sedang sakit menjadi segar kembali
seperti semula, yang mati kembali hidup, setelah dilihat Sang Pendeta
di tengah kuburan. Ada seorang wanita dalam keadaan menangis, berlari ke
utara dan ke selatan, tidak tahu akan perbuatannya di jumpai ketika
Sang Pendeta datang. (Ia) mendekat menghormat di kaki Sang Pendeta, lalu
berkata kepada Sang Pendeta, “Tuanku, mohon belas kasihan hamba,
dihadapan Tuan Hamba Sang Pendeta. Hamba ingin mengikuti suami hamba.
Sedih juga hati hamba, anugerahilah pertolongan Tuanku, agar bertemu
21b. suami hamba, Tuanku.” Sang
Pendeta berkata, “Tidak kuasa jika demikian. Apabila belum rusak mayat
suamimu, barangkali engkau bertemu lagi dengannya olehku. Mayat itu
telah hancur, engkau tidak bertemu lagi, engkau jumpai bila engkau
mati.. Saya akan menunjukkan jalan ke surga bagimu, dan juga surga bagi
suamimu. Inilah sarana dari saya, terimalah jangan menolak. Juga ada
pesan saya kepadamu, hendaknya kamu ingat, engkau menemukan suamimu.”
Wanita itu menangis menyembah menerima ucapan Sang Pendeta. Tidak
diceritakan wanita itu, ia telah pergi. Diceritakan Sang Pendeta. Lalu
beliau pergi ke tengah kuburan. Dijumpailah si Weksirsa, dan
Mahisawadana, murid Calon Arang itu. Ketika terliahat Sang Pendeta
datang, keduanya mendekat kepada Sang Pendeta, menghormati di kakinya Si
Weksirsa dan Mahisawadana itu. Berkatalah
22a. Sang Sri Yogiswara Baradah,
“Hai, siapakah engkau, datang menyembah saya di tengah kuburan ini,
serta dari mana asalmu dan siapakah namamu? Saya tidak mengetahui
engkau, beritahukanlah saya!” Si Weksirsa dan Mahisawadana,
memberitahukan. Ucapnya, “Tuanku, sebenarnya Si Weksirsa dan Si
Mahisawadana menyembah Tuan Hamba Sang Pendeta. Hamba murid beliau Sang
Randeng Girah. Hamba menghormat ke hadapan Pendeta mohon belas kasihan
paduka, mohon agar dibebaskan dari perbuatan yang tidak baik.” Lalu Sang
Yogiswara berkata, “Tidak dapat engkau kuruwat, jika tidak diruwat
Calon Arang lebih dahulu. Berangkatlah engaku menghadap Calon Arang,
beritahukan bahwa saya ada di sini. Saya ingin berbicara dengan besan.”
Si Weksirsa dan Mahisawadana mohon diri dan menghormat, berlutut lalu
pergi
22b. keduanya. Diceritakah Sang
Calon Arang, ia sedang memuja di kahyangan kuburan di sana. Baru saja
Paduka Batari Bagawati kembali dihadap, dalam percakapan (rahasia)
dengan janda dari Girah. Batari memberikan petunjuk kepada Calon Arang,
“Hai, janganlah engkau tidak waspada, mau dekat dengan dirimu.”
Begitulah pesan Batari. Itulah yang membuat rasa khawatir hati Calon
Arang, diam tertegun tidak berkata, karena memikirkan pesan beliau Sang
Batari. Si Weksirsa dan Mahisawadana segera datang bersama. Ia berkata
terlebih dahulu kepada Calon Arang, memberitahukan kedatangan Sang
Yogiswara Baradah. Sang Calon Arang berkata, “Hai, jadi besan Baradah
datang kemari. Itulah sebabnya saya sekarang menghentikan kepadanya.”
Calon Arang segera pergi. Beliau sampai di hadapan Sang Mpu Baradah.
Sang Randa di Girah menyapa Sang Pendeta. Ucapnya,
23a. “Hamba bahagia Tuanku Sang
Pendeta, besan saya Sang Yogiswara Baradah, saya gembira Sang Pendeta
datang. Saya ingin agar diberikan nasihat utama.” Sang Pendeta berkata,
“Hai, Besan sangat baik ucapan dan pikiranmu, kalau demikian, baiklah
saya memberitahukan tuntunan kemuliaan, tetapi janganlah engkau sangat
marah Besanku. Saya beritahukan sebelumnya, Engkau membunuh orang
melaksanakan perbuatan jahat, menyebabkan kekotoran dunia, membuat
penderitaan di dunia, dan membunuh seluruh dunia. Betapa besar
malapetaka di dunia, begitu kotor menyebabkan orang sakit, terlalu besar
malapetaka yang engkau perbuat, membunuh orang di seluruh kerajaan.
Engkau tidak dapat dibebaskan dari dosa, apabila tidak melalui jalan
mati seperti keinginan itu. Kendatipun demikian jika engkau belum
mengetahui seluk beluk pembebasan, masa engkau akan bebas dari dosa.”
Sang Calon Arang berkata, “Demikian sangat besar dosa saya di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar