39a. sampai Kapulungan, di Makara
Mungkur, Bayalangu, Ujungalang, Dawewihan, Pabayeman, di Tirah, di
Wunut, Talepa, We Putih (Pasir Putih), dan di Genggong. Gahan,
Pajarakan, Lesan, Sekarawi, dan di Gadi. Berbelok ke arah utara pergi
Sang Pendeta melewati Desa Momorong, Ujung Widara, di Waru-Waru,
Daleman, Lemah Mirah, Tarapas, Banyulangu, Gunung Patawuran, Sang Hyang
Dwaralagudi, Pabukuran, Alang-Alang Dawa, Patukangan, Turayan,
Karasikan, Balawan, Hijin, Belaran, dan Andilan. Tidak dikatakan
desa-desa yang dilewatinya. Beliau segera datang di Sagara Rupek (Selat
Bali). Sang Pendeta Baradah menantikan orang yang menyeberangkan.
Orang-orang yang menyeberangkan mendadak sepi, tidak ada yang tampak
oleh Sang Pendeta. Ada daun kalancang (Artocarpus incisa) di pantai. Daun itu diapungkannya di samudra, dipakai alat menyeberang oleh Pendeta Baradah.
39b. Akhirnya, dia berdiri di
atas daun kalancang, daun kalancang berlajar di samudra. Sang Pendeta
pergi ke arah timur menuju ke tempat yang bernama Kapurancak. Di sanalah
beliau turun dari daun kalancang. Lalu daun kalancang itu disembunyikan
oleh Sana Pendeta. Beliau berjalan ke asrama Silayukti. Tidak
diceritakan beliau tiba di jalan, segera berjalan ke asrama
Silayukti. Tidak diceritakan beliau tiba di desa Yukti. Di sana beliau
duduk di ruangan tamu, lama tidak ada yang menyambutnya. Apa sebabnya
demikian? Karena Mpu Yogiswara Kuturan sedang menjalankan yoga. Beliau
lama tidak muncul dari dalam asrama, sangat tekun menjalankan yoganya.
Sang Pendeta Baradah menunggu tidak sabar, beliau menanti di tempat
tamu. Oleh karena itu beliau menciptakan air sampai batas leher Mpu
Kuturan air itu. Beliau tetap saja kokoh, tanpa terganggu beliau
mennjalankan yoga,
40a. tidak berubah. Diciptakan
banjir semut gatal, mengambang ada di atas air, berebutan memenuhi
leher. Sang Pendeta Mpu Kuturan masih saja melanjutkan yoganya dengan
sikap tangan di hidung, menyatukan pikiran utama. Akhirnya, air itu
hilang pelan-pelan lalu kering, juga semua gatal itu lenyap, bagaikan
disapu bersama dengan hilangnya air besar. Beliau telah tahu apabila
kedatangan dia yang tinggal di Suti Asrama, saudaranya dari Buh Citra,
tetapi beliau pura-pura tidak tahu saat itu. Akhirnya, setelah lama lalu
keluarlah beliau menuju ke tempat tamu Sang Pendeta Kuturan. Mpu
Baradah turun dari tempat duduk. Beliau disambut oleh kakaknya, “Om-om
bahagia saudaraku. Apakah yang kau kerjaka aneh datang ke mari? Nah,
Saudara duduk di sini bersama. Lama kamu tidak bertemu dengan aku
bagaikan rasa rindulah kakakmu ini.” Lalu menyembahlah Mpu Baradah, lalu
duduk. Ucapnya kepada Sri Mpu Kuturan.
40b. Mpu Baradah berkata,
“Diterima oleh Adik Anda penyambutan oleh Sang Pendeta, juga tujuan adik
Pendeta datang ke hadapan Pendeta Kuturan. Adikmu bermaksud mendapatkan
keikhlasan Sang Pendeta, juga murid adik Sang Pendeta Tuanku. Raja di
Jawa nama penobatannya Maharaja Erlangga, bergelar Jatiningrat. Dia
berputra dua orang, itulah Tuanku, diharapkan akan diangkat raja di Bali
seorang, yang lainnya (lagi) di Pulau Jawa. Senanglah kemudian Bali dan
Jawa bersatu. Begitulah tujuan menghadap Tuan Hamba.” Sri Yogiswara Mpu
Kuturan lalu berkata, “Hai, ternyata begitulah tujuan kedatangan Anda.
Saya tidak setuju jika demikian. Saya tidak tahu beliau akan mengangkat
raja di Bali, sebab di sana menyiapkan rencananya. Masih ada hubungan
cucu dengan aku, (dia) itulah yang kami angkat menjadi raja di Bali.”
Pendeta Baradah berkata lagi, “Tuanku, saya
41a. berkata lagi ke hadapan Sang
Pendeta. Apabila sungguh salah di hadapan Tuan Hamba, seluruh Nusantara
itu Tuanku, daerah-daerah itu sama-sama menyerahkan upeti semua.”
Beliau Mpu Kuturan menjawab, “Tanpa alasan bahwa Nusantara banyak
menyerahkan upeti tunduk kepada Jawa semua, jika untuk Bali saya tidak
setuju. Jika begitu, saya senang apabila menyerbu seluruh negara, ya
sedapat-dapatnya saya menerima. Apabila saya telah mati saat itu jugalah
sekehendak Raja Jawa akan memerintah Bali itu.” Setelah Mpu Baradah
mendengarkan semua ucapan beliau Mpu Kuturan itu, bahwa perjalanannya
tidak berhasil, tidak disukai kakaknya. Segera turun Mpu Baradah lalu
keluar di luar asarama. Beliau lalu membuat gempa. Tidak terhitung besar
gempa datang, tumbuh-tumbuhan patah saling bersuara retak,
41b. yang lainnya rebah.
Orang-orang yang berada di tepi air jatuh di sungai terbenam air.
Rumah-rumah banyak yang roboh. Orang-orang di seluruh Kerajaan Bali
terkejut, menyuruh pesuruh istana agar pergi ke Asrama Silayukti
menanyakan tentang gempa bumi, berlari diberitahu. Tidak diceritakan di
jalan, utusan itu segera tiba di Silayukti. Utusan itu memberitahu Mpu
Kuturan, “Tuanku Sang Pendeta, Bagaimanakah cerita yang sebenarnya gempa
itu, datang tiba-tiba timbul dan sangat besar gempa itu, dari sejak
dahulu tidak ada (gempa) demikian?” Lalu Pendeta Kuturan menjawab, “Hai,
janganlahanda khawatir, hendaklah semua tabah di kerajaan. Ada tamu
saya dari Pulau Jawa, membencanai aku. Dialah yang menyebabkan gempa.”
Setelah utusan itu diberitahu oleh Sang Pendeta, utusan dari Kerajaan
Bali segera minta pamit dan pergi.
42a. Tidak diceritakan perjalanan
di jalan, segera datang di Kerajaaan Bali memberitahukan kedatangannya
kepada para menteri utama. Tidak diceritakanlah perkataannya.
Diceritakan Mpu Baradah, lalu beliau pergi dari asrama Desa Silayukti.
Beliau segera sampai di Kapurancak. Lalu diambilnyalah daun kalancang,
hendak diapungkan di air, daun itu akan ditumpanginya, daun kalewih itu
tenggelam. Itulah sebabnya beliau mengulang menumpangi daun kalancang
itu lagi, tenggelam lagilah daun kalancang. Beliau khawatir habis akal,
Sang Pendeta Baradah. Beliau berkata dalamhati, “Hai, apakah sebanya
saya seperti ini, sepertinya tidak datang ke Pulau Jawa lagi rasa
pikiran saya.” Beliau menjadi mengingatkan dalam hati. Hal itulah
mengingatkannya seperti ada yang memberikan peringatan, “Hai, saya belum
pamit
42b. tadi, di hadapan beliau
pendeta di Sukti. Nah, oleh karena itu, saya balik minta pamit beliau.”
Sang Pendeta Baradah kembali minta pamit, datang ke tempat Pendeta
Kuturan. Beliau segera tiba di asrama berjumpa Sang Pendeta Desa Sukti.
Pendeta Baradah menyembah minta pamit, “Tuanku yang tinggal di sini,
minta pamit adik Tuan Hamba Sang Pendeta.” Sang Pendeta di Sukti
menjawab, “Ya berangkatlah, kau adikku.” Bahaya air pasang menghilang.
Mpu Baradah segera pergi dari asrama. Lenyap perginya segera tiba di
Kapurancak. Beliau naik di atas daun kalewih dengan enaknya bergerak ke
barat. Segera tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di sana, Sang
Pendeta Baradah. Tidak diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan
sangat cepat jalannya.
43a. Beliau segera tiba di
Kerajaan Daha, bertemu dengan putranya Sang Maharaja Erlangga yang
sedang dihadap. Penuh sesak di tempat persidangan. Menteri utama, Patih
Amangkubumi dan Rangga Kanuruhan, termasuk pula Sang Maha Pendeta,
Brahmana, Buhjangga dan Resi. Beliau hadir ketika itu. Pendeta Baradah
tiba-tiba datang dari angkasa. Mengejutkan, karena beliau tiba-tiba
berdiri di tengah-tengah pertemuan. Kemudian dipeluklah kaki beliau Sang
Pendeta oleh Maharaja Erlangga. Diusaplah telapak kaki Sang Pendeta,
diletakkan pada ubun-ubunnya, dan dijilat oleh Sang Raja. Sang Pendeta
berkata, “Om, aduh putraku engkau Sang Raja, tidak berhasil kepergianku
ke Bali. Beliau yang berasrama di Desa Silayukti tidak setuju, apabila
putra Sang Raja hendak memerintah di Bali seorang. Beliau sangat marah
tidak menyetujui. Putra yang dalam hubungan cucunya akan
43b. dijadikan raja, sekarang
pikirkan di sini jika bersamanya. Saya hampir tidak akan kembali ke
Pulau Jawa lagi. Daun Kalancang yang saya tumpangi tenggelam.” Sang Raja
berkata lalu menghormat kepada Sang Pendeta, memberitahukan kepada Sang
Pendete, “Tuanku yang mulia telah bersungguh-sungguh Tuanku, jika
demikian, (karena) tidak terhingga saktinya Pendeta dari Bali. Apabila
Tuanku akan melaksanakan itu menyebabkan kehancuran badan. Adapun Pulau
Jawa di sini saja dibagi dua.” Sang Pendeta berkata, “Ya, begitulah kata
Anda. Saya senang Sang Raja, agar (putra Sang Raja) memerintah di
Janggala Kadiri. Janganlah lama, segera persiapkan, kebetulan saya lagi
ada di sini. Saya akan pulang ke penginapan dahulu.” Diikutilah Sang
Pendeta pulang ke tempat penginapannya oleh Sang Raja, menuju rumah
gading. Di sana dipersembahkan makanan oleh Sang Raja kepada Sang
Pendeta. Tidak diceritakan Sang Pendeta Baradah.
44a. Diceritakan Sang Raja,
beliau keluar lagi, memerintahkan kepada para Menteri, Patih, Rangga,
Kanuruhan, akan membuat panggung dua buah dan membuat bangsal, dipakai
tempat penghormatan putranya. Kokoh (tempat) akan berdiri raja dua
orang. Tempat itu sangat indahnya, setiap tiang ditutup dengan hiasan
kain pinggiran. Tidak diceritakan permata emas bersinar terang
menakjubkan, warnanya gemerlapan. Tidak disebutkan ular-ular itu, kain
bulu (wool) dengan ekornya bersambungan. Ada yang berwarna putih dan
ungu sepintas lintas menyilaukan, sutera putih berkibar ditiup angin
bagaikan pelangi dan ombak air. Dibangun panggung di timur satu dan di
barat satu. Tidak diceritakan para Guru Loka, Sang Brahmana, Buhjangga,
Sang Resi, sama-sama siaga di tempat. Beliau yang akan mengucapkan
doa-doa di penghormatan. Putra-putra sudah siap berbusana, keluarlah
beliau berdua.
44b. Mereka berdua naik ke
panggung yang dihiasi, keindahannya bebagai upacara di sana, hingga
nyata seisi laut dan gunung. Tidak ada kekurangannya. Beliau
bersama-sama direstui oleh para Guru Loka, Brahmana, Buhjangga, Resi,
yang menobatkan raja dua orang. Suara tabuh-tabuhan menggema, gong,
gamelan, terompet bersama dengan gendang, dan serunai. Tidak
henti-hentinya bunyi terompet , lonceng keras bersama berbunyi, riuh
rendah memecahkan telinga. Setelah beliau bersama di tempat
penghormatan, direstui doa-doa oleh Sang Pendeta. Beliau duduk di
singgasana masing-masing, sangat indah kelihatan. Yang duduk di
singgasana timur dinamai Sang Raja Janggala. Yang duduk di singgasana
barat dinamai Sang Raja Kadiri. Itulah sebabnya dinamai Janggala dan
Kadiri sampai sekarang. Setelah demikian, sama-sama membuat
45a. keraton, mengatur daerahnya
masing-masing, telah pantaslah dinamai Janggala Kadiri. Akhirnya, begitu
damai beliau bersaudara, sepertinya menyatu sederajat sejajar,
bersama-sama menjadi raja. Lamalah olehnya (raja) menikmati
(kesejahteraan) dengan para petani dan masyarakatnya hingga beberapa
malam bersama Maharaja Erlangga. Beliau sama-sama senang memerintah
sampai di kemudian hari mendapatkan fitnah dalam pemerintahannya. Sang
Raja Kadiri membuat rencana perang, kakaknya Raja Janggala hendak
diserang oleh Sang Raja Kadiri. Segeralah Sang Raja akan menghancurkan
Janggala. Beliau Sang Raja Janggala mendengar bahwa dia diserang oleh
Raja Kadiri. Menghadaplah beliau Sang Raja kepada ayahandanya,
mmeberitahukan kepada Sang Raja Tua, lalu ucapnya, “Ayahanda Raja,
45b. putra Tuan memberitahukan
kepada Paduka Yang Mulia. Hamba diserbu oleh putra Ayahanda Raja
Kadiri.” Raja Erlangga berkata, “Hai, mengapa demikian seperti ucapmu?
Janganlah kau tergesa-gesa melawan. Saa akan mengirim utusan ke Kadiri,
pulanglah saja kau ke Janggala dulu.” Minta dirilah Sang Raja Janggala
pulang, dia telah tiba di Janggala. Utusan Raja Tua segera berangkat ke
Kadiri, hendak mencegah Raja Kadiri, supaya menghentikan perangnya. Raja
Kadiri tidak memperhatikan. Ia tetap ingin menyerbu dengan kekuatan ke
Janggala. Berdengunglah suara tabuh-tabuhan, pěreret, surun, gěnding,
gendang, gong bersuara keras, bersama-sama riuh gemuruh, bercampur
dengan ringkik kuda, gajah dan kelebat bendera tertiup angin.
46a. Jalan kuda mengikuti penuh
sesak, bagaikan gelombang air menggulung. Orang-orang di Janggala telah
siap berjaga-jaga, menyongsong pasukan Sang Raja Kadiri. Penuh sesak
banyak prajuritnya, gemuruh suara tabuh-tabuhan, disertai senjata, gegap
gempita bagaikan guntur baru datang. Ujung pasukan telah bertemu, ramai
tembak-menembak. Hentikan sejenak, diceritakan Raja Erlangga, sulit
merasakan dalam hati, sebab nasihatnya tidak diperhatikan. Dia segera
memberitahukan kepada Sang Pendeta, menyuruh melerai peperangan. Sang
Pendeta segera pergi menuju Raja Kadiri. Dia segera datang ke sana,
ditemuilah Raja Kadiri sedang duduk di balai-balai, dihadap oleh
rakyatnya semua. Dia melihat Sang Pendeta datang,
46b. Raja Kadiri turun dari
balai, menghormat di kaki Sang Pendeta, menyapa Sang Pendeta dengan
senang. Sang Pendete segera berkata, “Saya minta selamat cucu Sang Raja.
Maksud saya datang ke mari melerai perangmu. Saya akan berhati-hati
membagi dua wilayah desa di Pulau Jawa ini. Terimalah usul saya cucu,
apabila Sang Raja tidak menerima nasihat saya, kau akan mendapatkan
kutuk, karena kau berperang dengan saudaramu lagi.” Sang Raja Kadiri
berkata, “Mengapakah cucu Tuanku Sang Pendeta, tidak menuruti nasihat
Sang Pendeta?” Sang Pendeta berkata, “Kau ini cucuku, syukurlah apabila
kau telah menerima nasihatku. Nah, tinggallah kau di sini, cucu. Saya
berangkat ke Janggala, hendak melerai perangnya cucu Raja
47a. di Janggala. Saya akan
memberikan kutukan kepada Raja Janggala.” Sang Pendeta Baradah segera
pergi, tujuannya ke Kerajaan Janggala. Lalu Sang Pendeta berjalan.
Beliau segera tiba di Kerajaan Janggala. Lalu Sang Pendeta berjalan.
Beliau segera tiba di Kerajaan Janggala, dijumpainya beliau (Raja
Janggala) dihadap oleh rakyatnya banyak. Beliau (Raja Janggala) melihat
bahwa Sang Pendeta datang, beliau turun dari tempat duduknya, lalu
menyembah menghormat di kaki Sang Pendeta. Berkatalah Sang Raja
Janggala, “Bahagialah Sang Pendeta. Apakah maksud Tuan Hamba, sehingga
datang ke tempat cucu, sama-sama duduk Tuan Sang Pendeta ?” Beliau Sang
Pendeta segera duduk, berdua bersama cucunya. Berkatalah Sang Bijaksana,
“Tujuan saya mendatangi cucuku Sang Raja, saya hendak melerai perangmu.
Pertama saya datang pada adikmu di Kadiri, meleraikan perang itu.
Terlebih dulu saya akan membagi upetimu di Pulau Jawa termasuk
47b. para petani semua, selain
yang diserahkan kepada ayahmu, anakku. Aku sekarang menyatukan
hubunganmu bersaudara, tujuannya agar tidak ada yang akan rebutan.
Terimalah nasihatku cucu. Engkau sama-sama akan kukutuk, jika pecah
perang lagi kelak. Janganlah engkau cucuku menerima fitnah buat-buatan.
Janganlah tidak memegang kewajiban utama, kau Sang Raja.” Berkatalah
Sang Raja Janggal kepada Sang Pendeta, “Mengapakah cucu ada pendeta yang
mulia, tidak akan menerima nasihat Sang Pendeta, sebab Sang Pendeta
hendak berusaha mencapai damai?” Sesudah demikian lalu mereka
mengundurkan diri bersama prajuritnya masing-masing. Sang Raja Kadiri
dan Sang Raja Janggala. Dibagilah penduduk desa semua dan desanya oleh
Sang Pendeta. Mereka ingan bagian masing-masing dan sama-sama diberitahu
tentang Manusasana‘ajaran tingkah
48a. laku manusia.’ Terutama Rajapurana,
mengenai hubungan rakyat petani, tahu tentang batas-batas wilayah
kerajaan. Sama-sama sejahtera semuanya seperti satu orang saja. Raja
Janggala dan Raja Kadiri sama bersenang-senang di negaranya. Setelah
beliau bersatu keduanya dengan pembagian wilayah dan rakyat oleh Sang
Pendeta, kemudian Sang Pendeta pulang ke kerajaan Bagawan Sri Erlangga.
Dijumpainyalah Sang Raja sedang dihadap, Sang Raja melihat bahwa Sang
Pendeta datang. Beliau turun dari tempat duduknya, lalu mengatur
pakaiannya, kemudian mengusap debu kaki Sang Pendeta ditempatkan di
ubun-ubun. Sang Pendeta berkat, “Saya telah selesai melerai peperangan
Putranda dan membagi wilayah mereka masing-masing. Semoga sama-sama
ingin Putranda itu tidak saling berebutan batas wilayah. Saya
menjatuhkan kutukan, jika berebutan batas-batas wilayah. Sama-sama
menerima Putranda itu.
48b. Seperti Putranda sekarang
menurut keinginanku, putra Ken Apatih jadilah Apatih Janggala. Keturunan
Ken Kanuruhan jadilah apatih di Kadiri. Itulah hendaknya dikerjakan
dengan baik jangan ada yang berebutan, hendaklah merata olehnyaanggagading,
sama akan dijatuhi kutuk. (Begitulah) saya berkata demikian, sebabnya
Apatih dan Ken Kanuruhan, sama-sama ingin menjalani kehidupan suci.
Bersama-sama mengikuti jejak Sang Raja, mempelajari sang Hyang Dharma.”
Berkatalah Sang Raja kepada Raja Tua, “Om, sungguh mulia Tuanku Sang
Pendeta, sekaranglah Tuanku, Pun Apatih dan Pun Kanuruhan hendak
mengikuti jalan Sang Pendeta, menjalani kehidupan suci diberi pelajaran
Sang Hyang Dharma, melakukan permohonan belajar atau tapa. Adapun maksud
Tuanku mendapatkan yang tengah. Jumlahnya upah 4000, yang diserahkan
kepada Sang Pendeta.” Berkatalah Sang Pendeta, “Hai, itu sangat
49a. baik keinginan Ken Apatih
dan Ken Kanuruhan, oleh karena hendak mengikuti perjalanan anakku Sang
Raja dalam duka dan nestapa. Baiklah, siapkan jangan lama-lama. Saya
ingin pulang ke asrama.” Lalu disiapkan bunga-bunga, dengan berbagai
bunga dupa lampu menyala. Semuanya lengkap sesaji itu, segala isi laut
dan gunung. Lalu beliau mengucapkan mantra dan aksara, menggema suara
gendang gending sangka. Ken Apatih dan Ken Kanuruhan diberi sěsědep.
Setelah beliau setuju keduanya, diajarlah beliau tentang Sang Hyang
Dharma dan tuntunan hidup yang utama. Habis seluk beluk rahasia sedunia
dan segala yang tampak. Selesai upacara Ken Apatih dan Ken Kanuruhan
membuat kebaikan. Sang Yogiswara berkata kepada Sang Raja, “Hai, anakku
Sang Raja, ayahmu ingin pulang ke asrama. Ajarilah olehmu Ken Apatih dan
Ken Kanuruhan.” Sang Raja menghormat kepada orang yang dihormatinya,
49b. sambil mengusap debu di kaki
Sang Maha Pendeta, ditempatkan di ubun-ubun oleh Sang Raja Erlangga.
Segera pergilah Sang Kosali. Adapun Sang Apatih dan Ken Kanuruhan ingin
mengikuti Sang Pendeta, tetapi tidak diberikan oleh Sang Pendeta,
sama-sama menghaturkan sembah penghormatan, serta mengusap telapak kaki
Sang Pendeta. Beliau pergi dari kerajaan, senanglah perjalanan Sang
Pendeta menghibur diri. Tidak diceritakan beliau di jalan. Beliau segera
datang di asramanya di Buh Citra Semasana. Dijumpai putrinya sedang
memperbaiki sanggulnya yang lepas. Terkejut dan berkatalah Sang
Wedawati, “Ai, beliau yang Mulia datang.” Lalu turun perlahan dan
mengatur kain Sang Wedawati, menghormat dan memeluk kaki Sang Pendeta.
Berkatalah Sang Pendeta, “Saya datang anakku, saya telah lama ingin
pulang ke asrama, belum selesai juga
50a. pekerjaan saya. Sekarang
telah selesai pekerjaan saya, karena itu saya pulang ke asrama.” Sang
Wedawati berkata lagi, “Tuanku Sang Pendeta, kapankan Tuan Yang Mulia
moksa? Putri Tuanku ingin segera mengikuti ibuku.” Sang Pendeta berkata,
“Apabila demikian keinginan Putriku, kau ingin segera moksa. Ya,
baiklah sekarang juga saya beritahukan kepada Si Weksirsa.” Segera
datang berlutut menyembah bersama Pun Mahisawadana. Lalu ucapnya kepada
Sang Pendeta, “Tuanku Yang Mulia, mempunyai satu keinginan moksa. Si
Weksirsa dan Mahisawadana ingin moksa ikut Tuanku.” Sang Pendeta
berkata, “Tidak dapat dikabulkan engkau Si Weksirsa dan Mahisawadana
(moksa) bersama dengan saya. Tiga tahun lagi engkau akan moksa, dapt
bertemu dengan saya, tinggallah engkau di sini.”
50b. Setelah beliau selesai
berkata, segera moksa Sang Maha Bijaksana berdua bersama putrinya Sang
Wedawati, moksa hilang lenyaplah dia. Setelah moksa Sang Pendeta
Baradah, beliau bersama-sama lenyap, suka tidak kembali duka, lenyap,
tidak akan melihat badannya kembali. Setelah itu tidak ada lagi cerita
Sang Pendeta Baradah yang tinggal di asrama Semasana, dinamailah Murare
sampai sekarang. (Dia) tidak diceritakan lagi. Ada putranya yang tinggal
di Lemah Tulis. Beliau bernama Mpu Yajnaswara. Beliaulan yang mengambil
peninggalan di asrama Semasana dan kekayaan yang ada semua, termasuk
buku-buku suci, juga emas dan berbagai permata, padi uang serta rakyat
semua, dan kerbau sapi. Itulah diambil oleh Mpu Yajnaswara dibawanya ke
Lemah Tulis. Yang masih ditinggalkan adalah persediaan makanan Si
Weksirsa dan Mahisawadana, yang
51a. menunggu asrama Semasana.
Karena itu asrama di Uwih Citra menjadi tempat upacara ritual, sebab
keturunan Sang Yogiswara Baradah. Pertapaan suci di Hanget (Kali Anget),
turun temurun di Rupit (Selat Bali) murid Sang Pendeta Baradah, karena
itu daerah di Rupit menjadi tempat upacara lagi sampai sekarang.
Tamatlah cerita Mpu Baradah, ketika tinggal di Semasana Lemah Tulis.
Selesai ditulis di Semadri Camara, menghadap ke arah barat di bawahnya
Sungai Harung. Ada guanya di sana, pada tahun Saka 1462 (1540 Masehi), tanggal bulanhamacapmika, paroh terang, ke-10. Perhitungan hari, tujuh,Sukra (Jumat), hari lima, Umanis; hari delapan, Sri; hari enam,Wurukung; hari tiga, dwara (Kajeng); hari sembilan, gigis; hari empat, laba; kulawu ring kawi wuku, pratiti, sadayatana (dua belas). Demikianlah selesainya
51b. karya suci ditulis. Agar
dipelihara orang-orang yang sudi mempelajari akasara, salah tulis,
kurang dan lebih. Agar dimaafkan oleh mereka yang mengetahui tentang
aturan sastra, karena masih muda, memaksa mengetahui menyalin (menulis)
sastra utama, bermaksud meminjam tidak berhasil. Sri Saraswati semoga berhasil sejahtera. Om, semoga panjang umur bagi Sang Penulis dan yang memiliki sastra utama. Semoga sukses.