Minggu, 01 Mei 2016

SERAT WEDHATAMA-YANG WARAS NGALAH




SERAT WEDHATAMA: YANG WARAS NGALAH

Bait ke empat Pupuh Pangkur, Serat Wedhatama ini adalah lanjutan dari bait ke tiga. Bagaimana orang yang “nggugu karepe dhewe” tadi semakin menjadi-jadi. Mungkin karena tidak ada yang memperingatkan, atau karena ia tidak mau mendengar nasihat orang lain. Tembangnya dalam bahasa yang mudah dipahami, sebagai berikut:

Si pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur,
Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Si dungu tidak menyadari
Bahwa bualannya semakin menjadi-jadi
Bicara makin ngelantur
Bicaranya tidak masuk akal,
Makin aneh dan tidak ada putusnya
Yang pandai waspada dan mengalah
Menutupi aib si tolol

Itulah celakanya orang yang suka menuruti maunya sendiri. “Saya suwe saya ndadi”, makin lama bukannya menjadi berhati-hati, malah makin menjadi-jadi. Yang mendengar sebenarnya amat sebal, tetapi mengambil sikap “sinamun ing samudana”.

Mengapa pitutur Jawa sering mengisyaratkan “Samudana?”. Pada dua baris terakhir Sekar Pangkur ini dijelaskan: “Si wasis waskitha ngalah, Ngalingi marang si pingging” (pingging: tolol).


Yang merasa pandai dan betul-betul pandai, lebih baik mengalah. Pertama memang hanya buang-buang energi. Menang debat pun tidak ada hasilnya. Dalam tembang ini kita diminta untuk “ngalingi”, menutupi aib si tolol. Kalau kita harus bicara, maka ingat pesan “sinamun ing samudana”. Bukan lamis, karena lamis adalah “manis di mulut buruk di hati” sementara “samudana” adalah “baik di mulut, baik di hati”, karena kita ingin menutupi aib orang, bukan menjatuhkannya.


Dalam bahasa yang lebih sederhana: Buat apa meladeni orang seperti itu. “Menang ora kondang”, kita menang pun tidak akan tenar. Dalam bahasa yang lebih populer: “Yang waras, ngalah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar