Sabtu, 07 Mei 2016

LONTAR CALONARANG BAGIAN VI







39a. sampai Kapulungan, di Makara Mungkur, Bayalangu, Ujungalang, Dawewihan, Pabayeman, di Tirah, di Wunut, Talepa, We Putih (Pasir Putih), dan di Genggong. Gahan, Pajarakan, Lesan, Sekarawi, dan di Gadi. Berbelok ke arah utara pergi Sang Pendeta melewati Desa Momorong, Ujung Widara, di Waru-Waru, Daleman, Lemah Mirah, Tarapas, Banyulangu, Gunung Patawuran, Sang Hyang Dwaralagudi, Pabukuran, Alang-Alang Dawa, Patukangan, Turayan, Karasikan, Balawan, Hijin, Belaran, dan Andilan. Tidak dikatakan desa-desa yang dilewatinya. Beliau segera datang di Sagara Rupek (Selat Bali). Sang Pendeta Baradah menantikan orang yang menyeberangkan. Orang-orang yang menyeberangkan mendadak sepi, tidak ada yang tampak oleh Sang Pendeta. Ada daun kalancang (Artocarpus incisa) di pantai. Daun itu diapungkannya di samudra, dipakai alat menyeberang oleh Pendeta Baradah.
39b. Akhirnya, dia berdiri di atas daun kalancang, daun kalancang berlajar di samudra. Sang Pendeta pergi ke arah timur menuju ke tempat yang bernama Kapurancak. Di sanalah beliau turun dari daun kalancang. Lalu daun kalancang itu disembunyikan oleh Sana Pendeta. Beliau berjalan ke asrama Silayukti. Tidak diceritakan beliau tiba di jalan, segera berjalan ke asrama Silayukti. Tidak diceritakan beliau tiba di desa Yukti. Di sana beliau duduk di ruangan tamu, lama tidak ada yang menyambutnya. Apa sebabnya demikian? Karena Mpu Yogiswara Kuturan sedang menjalankan yoga. Beliau lama tidak muncul dari dalam asrama, sangat tekun menjalankan yoganya. Sang Pendeta Baradah menunggu tidak sabar, beliau menanti di tempat tamu. Oleh karena itu beliau menciptakan air sampai batas leher Mpu Kuturan air itu. Beliau tetap saja kokoh, tanpa terganggu beliau mennjalankan yoga,
40a. tidak berubah. Diciptakan banjir semut gatal, mengambang ada di atas air, berebutan memenuhi leher. Sang Pendeta Mpu Kuturan masih saja melanjutkan yoganya dengan sikap tangan di hidung, menyatukan pikiran utama. Akhirnya, air itu hilang pelan-pelan lalu kering, juga semua gatal itu lenyap, bagaikan disapu bersama dengan hilangnya air besar. Beliau telah tahu apabila kedatangan dia yang tinggal di Suti Asrama, saudaranya dari Buh Citra, tetapi beliau pura-pura tidak tahu saat itu. Akhirnya, setelah lama lalu keluarlah beliau menuju ke tempat tamu Sang Pendeta Kuturan. Mpu Baradah turun dari tempat duduk. Beliau disambut oleh kakaknya, “Om-om bahagia saudaraku. Apakah yang kau kerjaka aneh datang ke mari? Nah, Saudara duduk di sini bersama. Lama kamu tidak bertemu dengan aku bagaikan rasa rindulah kakakmu ini.” Lalu menyembahlah Mpu Baradah, lalu duduk. Ucapnya kepada Sri Mpu Kuturan.
40b. Mpu Baradah berkata, “Diterima oleh Adik Anda penyambutan oleh Sang Pendeta, juga tujuan adik Pendeta datang ke hadapan Pendeta Kuturan. Adikmu bermaksud mendapatkan keikhlasan Sang Pendeta, juga murid adik Sang Pendeta Tuanku. Raja di Jawa nama penobatannya Maharaja Erlangga, bergelar Jatiningrat. Dia berputra dua orang, itulah Tuanku, diharapkan akan diangkat raja di Bali seorang, yang lainnya (lagi) di Pulau Jawa. Senanglah kemudian Bali dan Jawa bersatu. Begitulah tujuan menghadap Tuan Hamba.” Sri Yogiswara Mpu Kuturan lalu berkata, “Hai, ternyata begitulah tujuan kedatangan Anda. Saya tidak setuju jika demikian. Saya tidak tahu beliau akan mengangkat raja di Bali, sebab di sana menyiapkan rencananya. Masih ada hubungan cucu dengan aku, (dia) itulah yang kami angkat menjadi raja di Bali.” Pendeta Baradah berkata lagi, “Tuanku, saya
41a. berkata lagi ke hadapan Sang Pendeta. Apabila sungguh salah di hadapan Tuan Hamba, seluruh Nusantara itu Tuanku, daerah-daerah itu sama-sama menyerahkan upeti semua.” Beliau Mpu Kuturan menjawab, “Tanpa alasan bahwa Nusantara banyak menyerahkan upeti tunduk kepada Jawa semua, jika untuk Bali saya tidak setuju. Jika begitu, saya senang apabila menyerbu seluruh negara, ya sedapat-dapatnya saya menerima. Apabila saya telah mati saat itu jugalah sekehendak Raja Jawa akan memerintah Bali itu.” Setelah Mpu Baradah mendengarkan semua ucapan beliau Mpu Kuturan itu, bahwa perjalanannya tidak berhasil, tidak disukai kakaknya. Segera turun Mpu Baradah lalu keluar di luar asarama. Beliau lalu membuat gempa. Tidak terhitung besar gempa datang, tumbuh-tumbuhan patah saling bersuara retak,
41b. yang lainnya rebah. Orang-orang yang berada di tepi air jatuh di sungai terbenam air. Rumah-rumah banyak yang roboh. Orang-orang di seluruh Kerajaan Bali terkejut, menyuruh pesuruh istana agar pergi ke Asrama Silayukti menanyakan tentang gempa bumi, berlari diberitahu. Tidak diceritakan di jalan, utusan itu segera tiba di Silayukti. Utusan itu memberitahu Mpu Kuturan, “Tuanku Sang Pendeta, Bagaimanakah cerita yang sebenarnya gempa itu, datang tiba-tiba timbul dan sangat besar gempa itu, dari sejak dahulu tidak ada (gempa) demikian?” Lalu Pendeta Kuturan menjawab, “Hai, janganlahanda khawatir, hendaklah semua tabah di kerajaan. Ada tamu saya dari Pulau Jawa, membencanai aku. Dialah yang menyebabkan gempa.” Setelah utusan itu diberitahu oleh Sang Pendeta, utusan dari Kerajaan Bali segera minta pamit dan pergi.
42a. Tidak diceritakan perjalanan di jalan, segera datang di Kerajaaan Bali memberitahukan kedatangannya kepada para menteri utama. Tidak diceritakanlah perkataannya. Diceritakan Mpu Baradah, lalu beliau pergi dari asrama Desa Silayukti. Beliau segera sampai di Kapurancak. Lalu diambilnyalah daun kalancang, hendak diapungkan di air, daun itu akan ditumpanginya, daun kalewih itu tenggelam. Itulah sebabnya beliau mengulang menumpangi daun kalancang itu lagi, tenggelam lagilah daun kalancang. Beliau khawatir habis akal, Sang Pendeta Baradah. Beliau berkata dalamhati, “Hai, apakah sebanya saya seperti ini, sepertinya tidak datang ke Pulau Jawa lagi rasa pikiran saya.” Beliau menjadi mengingatkan dalam hati. Hal itulah mengingatkannya seperti ada yang memberikan peringatan, “Hai, saya belum pamit
42b. tadi, di hadapan beliau pendeta di Sukti. Nah, oleh karena itu, saya balik minta pamit beliau.” Sang Pendeta Baradah kembali minta pamit, datang ke tempat Pendeta Kuturan. Beliau segera tiba di asrama berjumpa Sang Pendeta Desa Sukti. Pendeta Baradah menyembah minta pamit, “Tuanku yang tinggal di sini, minta pamit adik Tuan Hamba Sang Pendeta.” Sang Pendeta di Sukti menjawab, “Ya berangkatlah, kau adikku.” Bahaya air pasang menghilang. Mpu Baradah segera pergi dari asrama. Lenyap perginya segera tiba di Kapurancak. Beliau naik di atas daun kalewih dengan enaknya bergerak ke barat. Segera tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di sana, Sang Pendeta Baradah. Tidak diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan sangat cepat jalannya.
43a. Beliau segera tiba di Kerajaan Daha, bertemu dengan putranya Sang Maharaja Erlangga yang sedang dihadap. Penuh sesak di tempat persidangan. Menteri utama, Patih Amangkubumi dan Rangga Kanuruhan, termasuk pula Sang Maha Pendeta, Brahmana, Buhjangga dan Resi. Beliau hadir ketika itu. Pendeta Baradah tiba-tiba datang dari angkasa. Mengejutkan, karena beliau tiba-tiba berdiri di tengah-tengah pertemuan. Kemudian dipeluklah kaki beliau Sang Pendeta oleh Maharaja Erlangga. Diusaplah telapak kaki Sang Pendeta, diletakkan pada ubun-ubunnya, dan dijilat oleh Sang Raja. Sang Pendeta berkata, “Om, aduh putraku engkau Sang Raja, tidak berhasil kepergianku ke Bali. Beliau yang berasrama di Desa Silayukti tidak setuju, apabila putra Sang Raja hendak memerintah di Bali seorang. Beliau sangat marah tidak menyetujui. Putra yang dalam hubungan cucunya akan
43b. dijadikan raja, sekarang pikirkan di sini jika bersamanya. Saya hampir tidak akan kembali ke Pulau Jawa lagi. Daun Kalancang yang saya tumpangi tenggelam.” Sang Raja berkata lalu menghormat kepada Sang Pendeta, memberitahukan kepada Sang Pendete, “Tuanku yang mulia telah bersungguh-sungguh Tuanku, jika demikian, (karena) tidak terhingga saktinya Pendeta dari Bali. Apabila Tuanku akan melaksanakan itu menyebabkan kehancuran badan. Adapun Pulau Jawa di sini saja dibagi dua.” Sang Pendeta berkata, “Ya, begitulah kata Anda. Saya senang Sang Raja, agar (putra Sang Raja) memerintah di Janggala Kadiri. Janganlah lama, segera persiapkan, kebetulan saya lagi ada di sini. Saya akan pulang ke penginapan dahulu.” Diikutilah Sang Pendeta pulang ke tempat penginapannya oleh Sang Raja, menuju rumah gading. Di sana dipersembahkan makanan oleh Sang Raja kepada Sang Pendeta. Tidak diceritakan Sang Pendeta Baradah.
44a. Diceritakan Sang Raja, beliau keluar lagi, memerintahkan kepada para Menteri, Patih, Rangga, Kanuruhan, akan membuat panggung dua buah dan membuat bangsal, dipakai tempat penghormatan putranya. Kokoh (tempat) akan berdiri raja dua orang. Tempat itu sangat indahnya, setiap tiang ditutup dengan hiasan kain pinggiran. Tidak diceritakan permata emas bersinar terang menakjubkan, warnanya gemerlapan. Tidak disebutkan ular-ular itu, kain bulu (wool) dengan ekornya bersambungan. Ada yang berwarna putih dan ungu sepintas lintas menyilaukan, sutera putih berkibar ditiup angin bagaikan pelangi dan ombak air. Dibangun panggung di timur satu dan di barat satu. Tidak diceritakan para Guru Loka, Sang Brahmana, Buhjangga, Sang Resi, sama-sama siaga di tempat. Beliau yang akan mengucapkan doa-doa di penghormatan. Putra-putra sudah siap berbusana, keluarlah beliau berdua.
44b. Mereka berdua naik ke panggung yang dihiasi, keindahannya bebagai upacara di sana, hingga nyata seisi laut dan gunung. Tidak ada kekurangannya. Beliau bersama-sama direstui oleh para Guru Loka, Brahmana, Buhjangga, Resi, yang menobatkan raja dua orang. Suara tabuh-tabuhan menggema, gong, gamelan, terompet bersama dengan gendang, dan serunai. Tidak henti-hentinya bunyi terompet , lonceng keras bersama berbunyi, riuh rendah memecahkan telinga. Setelah beliau bersama di tempat penghormatan, direstui doa-doa oleh Sang Pendeta. Beliau duduk di singgasana masing-masing, sangat indah kelihatan. Yang duduk di singgasana timur dinamai Sang Raja Janggala. Yang duduk di singgasana barat dinamai Sang Raja Kadiri. Itulah sebabnya dinamai Janggala dan Kadiri sampai sekarang. Setelah demikian, sama-sama membuat
45a. keraton, mengatur daerahnya masing-masing, telah pantaslah dinamai Janggala Kadiri. Akhirnya, begitu damai beliau bersaudara, sepertinya menyatu sederajat sejajar, bersama-sama menjadi raja. Lamalah olehnya (raja) menikmati (kesejahteraan) dengan para petani dan masyarakatnya hingga beberapa malam bersama Maharaja Erlangga. Beliau sama-sama senang memerintah sampai di kemudian hari mendapatkan fitnah dalam pemerintahannya. Sang Raja Kadiri membuat rencana perang, kakaknya Raja Janggala hendak diserang oleh Sang Raja Kadiri. Segeralah Sang Raja akan menghancurkan Janggala. Beliau Sang Raja Janggala mendengar bahwa dia diserang oleh Raja Kadiri. Menghadaplah beliau Sang Raja kepada ayahandanya, mmeberitahukan kepada Sang Raja Tua, lalu ucapnya, “Ayahanda Raja,
45b. putra Tuan memberitahukan kepada Paduka Yang Mulia. Hamba diserbu oleh putra Ayahanda Raja Kadiri.” Raja Erlangga berkata, “Hai, mengapa demikian seperti ucapmu? Janganlah kau tergesa-gesa melawan. Saa akan mengirim utusan ke Kadiri, pulanglah saja kau ke Janggala dulu.” Minta dirilah Sang Raja Janggala pulang, dia telah tiba di Janggala. Utusan Raja Tua segera berangkat ke Kadiri, hendak mencegah Raja Kadiri, supaya menghentikan perangnya. Raja Kadiri tidak memperhatikan. Ia tetap ingin menyerbu dengan kekuatan ke Janggala. Berdengunglah suara tabuh-tabuhan, pěreret, surun, gěnding, gendang, gong bersuara keras, bersama-sama riuh gemuruh, bercampur dengan ringkik kuda, gajah dan kelebat bendera tertiup angin.
46a. Jalan kuda mengikuti penuh sesak, bagaikan gelombang air menggulung. Orang-orang di Janggala telah siap berjaga-jaga, menyongsong pasukan Sang Raja Kadiri. Penuh sesak banyak prajuritnya, gemuruh suara tabuh-tabuhan, disertai senjata, gegap gempita bagaikan guntur baru datang. Ujung pasukan telah bertemu, ramai tembak-menembak. Hentikan sejenak, diceritakan Raja Erlangga, sulit merasakan dalam hati, sebab nasihatnya tidak diperhatikan. Dia segera memberitahukan kepada Sang Pendeta, menyuruh melerai peperangan. Sang Pendeta segera pergi menuju Raja Kadiri. Dia segera datang ke sana, ditemuilah Raja Kadiri sedang duduk di balai-balai, dihadap oleh rakyatnya semua. Dia melihat Sang Pendeta datang,
46b. Raja Kadiri turun dari balai, menghormat di kaki Sang Pendeta, menyapa Sang Pendeta dengan senang. Sang Pendete segera berkata, “Saya minta selamat cucu Sang Raja. Maksud saya datang ke mari melerai perangmu. Saya akan berhati-hati membagi dua wilayah desa di Pulau Jawa ini. Terimalah usul saya cucu, apabila Sang Raja tidak menerima nasihat saya, kau akan mendapatkan kutuk, karena kau berperang dengan saudaramu lagi.” Sang Raja Kadiri berkata, “Mengapakah cucu Tuanku Sang Pendeta, tidak menuruti nasihat Sang Pendeta?” Sang Pendeta berkata, “Kau ini cucuku, syukurlah apabila kau telah menerima nasihatku. Nah, tinggallah kau di sini, cucu. Saya berangkat ke Janggala, hendak melerai perangnya cucu Raja
47a. di Janggala. Saya akan memberikan kutukan kepada Raja Janggala.” Sang Pendeta Baradah segera pergi, tujuannya ke Kerajaan Janggala. Lalu Sang Pendeta berjalan. Beliau segera tiba di Kerajaan Janggala. Lalu Sang Pendeta berjalan. Beliau segera tiba di Kerajaan Janggala, dijumpainya beliau (Raja Janggala) dihadap oleh rakyatnya banyak. Beliau (Raja Janggala) melihat bahwa Sang Pendeta datang, beliau turun dari tempat duduknya, lalu menyembah menghormat di kaki Sang Pendeta. Berkatalah Sang Raja Janggala, “Bahagialah Sang Pendeta. Apakah maksud Tuan Hamba, sehingga datang ke tempat cucu, sama-sama duduk Tuan Sang Pendeta ?” Beliau Sang Pendeta segera duduk, berdua bersama cucunya. Berkatalah Sang Bijaksana, “Tujuan saya mendatangi cucuku Sang Raja, saya hendak melerai perangmu. Pertama saya datang pada adikmu di Kadiri, meleraikan perang itu. Terlebih dulu saya akan membagi upetimu di Pulau Jawa termasuk
47b. para petani semua, selain yang diserahkan kepada ayahmu, anakku. Aku sekarang menyatukan hubunganmu bersaudara, tujuannya agar tidak ada yang akan rebutan. Terimalah nasihatku cucu. Engkau sama-sama akan kukutuk, jika pecah perang lagi kelak. Janganlah engkau cucuku menerima fitnah buat-buatan. Janganlah tidak memegang kewajiban utama, kau Sang Raja.” Berkatalah Sang Raja Janggal kepada Sang Pendeta, “Mengapakah cucu ada pendeta yang mulia, tidak akan menerima nasihat Sang Pendeta, sebab Sang Pendeta hendak berusaha mencapai damai?” Sesudah demikian lalu mereka mengundurkan diri bersama prajuritnya masing-masing. Sang Raja Kadiri dan Sang Raja Janggala. Dibagilah penduduk desa semua dan desanya oleh Sang Pendeta. Mereka ingan bagian masing-masing dan sama-sama diberitahu tentang Manusasana‘ajaran tingkah
48a. laku manusia.’ Terutama Rajapurana, mengenai hubungan rakyat petani, tahu tentang batas-batas wilayah kerajaan. Sama-sama sejahtera semuanya seperti satu orang saja. Raja Janggala dan Raja Kadiri sama bersenang-senang di negaranya. Setelah beliau bersatu keduanya dengan pembagian wilayah dan rakyat oleh Sang Pendeta, kemudian Sang Pendeta pulang ke kerajaan Bagawan Sri Erlangga. Dijumpainyalah Sang Raja sedang dihadap, Sang Raja melihat bahwa Sang Pendeta datang. Beliau turun dari tempat duduknya, lalu mengatur pakaiannya, kemudian mengusap debu kaki Sang Pendeta ditempatkan di ubun-ubun. Sang Pendeta berkat, “Saya telah selesai melerai peperangan Putranda dan membagi wilayah mereka masing-masing. Semoga sama-sama ingin Putranda itu tidak saling berebutan batas wilayah. Saya menjatuhkan kutukan, jika berebutan batas-batas wilayah. Sama-sama menerima Putranda itu.
48b. Seperti Putranda sekarang menurut keinginanku, putra Ken Apatih jadilah Apatih Janggala. Keturunan Ken Kanuruhan jadilah apatih di Kadiri. Itulah hendaknya dikerjakan dengan baik jangan ada yang berebutan, hendaklah merata olehnyaanggagading, sama akan dijatuhi kutuk. (Begitulah) saya berkata demikian, sebabnya Apatih dan Ken Kanuruhan, sama-sama ingin menjalani kehidupan suci. Bersama-sama mengikuti jejak Sang Raja, mempelajari sang Hyang Dharma.” Berkatalah Sang Raja kepada Raja Tua, “Om, sungguh mulia Tuanku Sang Pendeta, sekaranglah Tuanku, Pun Apatih dan Pun Kanuruhan hendak mengikuti jalan Sang Pendeta, menjalani kehidupan suci diberi pelajaran Sang Hyang Dharma, melakukan permohonan belajar atau tapa. Adapun maksud Tuanku mendapatkan yang tengah. Jumlahnya upah 4000, yang diserahkan kepada Sang Pendeta.” Berkatalah Sang Pendeta, “Hai, itu sangat
49a. baik keinginan Ken Apatih dan Ken Kanuruhan, oleh karena hendak mengikuti perjalanan anakku Sang Raja dalam duka dan nestapa. Baiklah, siapkan jangan lama-lama. Saya ingin pulang ke asrama.” Lalu disiapkan bunga-bunga, dengan berbagai bunga dupa lampu menyala. Semuanya lengkap sesaji itu, segala isi laut dan gunung. Lalu beliau mengucapkan mantra dan aksara, menggema suara gendang gending sangka. Ken Apatih dan Ken Kanuruhan diberi sěsědep. Setelah beliau setuju keduanya, diajarlah beliau tentang Sang Hyang Dharma dan tuntunan hidup yang utama. Habis seluk beluk rahasia sedunia dan segala yang tampak. Selesai upacara Ken Apatih dan Ken Kanuruhan membuat kebaikan. Sang Yogiswara berkata kepada Sang Raja, “Hai, anakku Sang Raja, ayahmu ingin pulang ke asrama. Ajarilah olehmu Ken Apatih dan Ken Kanuruhan.” Sang Raja menghormat kepada orang yang dihormatinya,
49b. sambil mengusap debu di kaki Sang Maha Pendeta, ditempatkan di ubun-ubun oleh Sang Raja Erlangga. Segera pergilah Sang Kosali. Adapun Sang Apatih dan Ken Kanuruhan ingin mengikuti Sang Pendeta, tetapi tidak diberikan oleh Sang Pendeta, sama-sama menghaturkan sembah penghormatan, serta mengusap telapak kaki Sang Pendeta. Beliau pergi dari kerajaan, senanglah perjalanan Sang Pendeta menghibur diri. Tidak diceritakan beliau di jalan. Beliau segera datang di asramanya di Buh Citra Semasana. Dijumpai putrinya sedang memperbaiki sanggulnya yang lepas. Terkejut dan berkatalah Sang Wedawati, “Ai, beliau yang Mulia datang.” Lalu turun perlahan dan mengatur kain Sang Wedawati, menghormat dan memeluk kaki Sang Pendeta. Berkatalah Sang Pendeta, “Saya datang anakku, saya telah lama ingin pulang ke asrama, belum selesai juga
50a. pekerjaan saya. Sekarang telah selesai pekerjaan saya, karena itu saya pulang ke asrama.” Sang Wedawati berkata lagi, “Tuanku Sang Pendeta, kapankan Tuan Yang Mulia moksa? Putri Tuanku ingin segera mengikuti ibuku.” Sang Pendeta berkata, “Apabila demikian keinginan Putriku, kau ingin segera moksa. Ya, baiklah sekarang juga saya beritahukan kepada Si Weksirsa.” Segera datang berlutut menyembah bersama Pun Mahisawadana. Lalu ucapnya kepada Sang Pendeta, “Tuanku Yang Mulia, mempunyai satu keinginan moksa. Si Weksirsa dan Mahisawadana ingin moksa ikut Tuanku.” Sang Pendeta berkata, “Tidak dapat dikabulkan engkau Si Weksirsa dan Mahisawadana (moksa) bersama dengan saya. Tiga tahun lagi engkau akan moksa, dapt bertemu dengan saya, tinggallah engkau di sini.”
50b. Setelah beliau selesai berkata, segera moksa Sang Maha Bijaksana berdua bersama putrinya Sang Wedawati, moksa hilang lenyaplah dia. Setelah moksa Sang Pendeta Baradah, beliau bersama-sama lenyap, suka tidak kembali duka, lenyap, tidak akan melihat badannya kembali. Setelah itu tidak ada lagi cerita Sang Pendeta Baradah yang tinggal di asrama Semasana, dinamailah Murare sampai sekarang. (Dia) tidak diceritakan lagi. Ada putranya yang tinggal di Lemah Tulis. Beliau bernama Mpu Yajnaswara. Beliaulan yang mengambil peninggalan di asrama Semasana dan kekayaan yang ada semua, termasuk buku-buku suci, juga emas dan berbagai permata, padi uang serta rakyat semua, dan kerbau sapi. Itulah diambil oleh Mpu Yajnaswara dibawanya ke Lemah Tulis. Yang masih ditinggalkan adalah persediaan makanan Si Weksirsa dan Mahisawadana, yang
51a. menunggu asrama Semasana. Karena itu asrama di Uwih Citra menjadi tempat upacara ritual, sebab keturunan Sang Yogiswara Baradah. Pertapaan suci di Hanget (Kali Anget), turun temurun di Rupit (Selat Bali) murid Sang Pendeta Baradah, karena itu daerah di Rupit menjadi tempat upacara lagi sampai sekarang. Tamatlah cerita Mpu Baradah, ketika tinggal di Semasana Lemah Tulis. Selesai ditulis di Semadri Camara, menghadap ke arah barat di bawahnya Sungai Harung. Ada guanya di sana, pada tahun Saka 1462 (1540 Masehi), tanggal bulanhamacapmika, paroh terang, ke-10. Perhitungan hari, tujuh,Sukra (Jumat), hari lima, Umanis; hari delapan, Sri; hari enam,Wurukung; hari tiga, dwara (Kajeng); hari sembilan, gigis; hari empat, labakulawu ring kawi wuku, pratiti, sadayatana (dua belas). Demikianlah selesainya

51b. karya suci ditulis. Agar dipelihara orang-orang yang sudi mempelajari akasara, salah tulis, kurang dan lebih. Agar dimaafkan oleh mereka yang mengetahui tentang aturan sastra, karena masih muda, memaksa mengetahui menyalin (menulis) sastra utama, bermaksud meminjam tidak berhasil. Sri Saraswati semoga berhasil sejahtera. Om, semoga panjang umur bagi Sang Penulis dan yang memiliki sastra utama. Semoga sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar